Di sebuah ruangan bercat putih terasa sunyi. Hanya suara ketikan keyboard dan detak jarum jam saja yang terdengar.
Dari 30 murid yang mengisi ruangan itu tidak ada yang berani mengeluarkan suara. Mulut mereka diam. Hanya tangan mereka saja yang bergerak lincah di atas keyboard laptop.
Ini semua tidak lepas dari pengaruh sosok wanita dewasa yang saat ini menduduki kursi pengawas. Tatapan tajamnya dan aura galak yang mendominasi membuat semua orang tidak berani berulah jika tidak ingin diusir dari ruangan itu.
Mungkin bukan keberuntungan para peserta ujian ruang 1 karena di hari pertama ujian, mereka sudah diawasi oleh guru killer berlipstik merah darah. Siapa lagi jika bukan Bu Endang.
Siapapun mungkin tidak masalah jika diawasi oleh Bu Endang saat mengerjakan ujian Bahasa Indonesia atau pelajaran lain yang tergolong mudah, tapi sialnya ujian yang mereka kerjakan saat ini adalah ujian Matematika. Sungguh tidak ada yang lebih menjengkelkan dari itu bagi mereka saat ini.
Keinginan peserta ujian untuk bekerja sama dengan temannya terpaksa harus ditahan saat Bu Endang melempar tatapan mengintimidasi pada setiap orang yang tertangkap matanya melakukan gerakan berlebihan. Mereka—terlebih para peserta ujian yang menduduki bangku depan—hanya mampu bernafas dan mengerjakan soal sebisanya.
Suara decitan kursi membuat seluruh pasang mata menatap pada sumber suara. Tampak Bu Endang beranjak dari kursi yang sedari tadi dia duduki.
Semuanya tampak was-was. Mereka takut Bu Endang berkeliling karena itu bisa membuat mereka semakin tak berdaya.
“Saya tinggal ke kamar mandi dulu. Jangan ada yang berani bekerja sama! Jika ada yang ketahuan bekerja sama kalian akan saya keluarkan dari ruangan ini dan harus mengikuti ujian susulan.” Bu Endang melempar tatapan penuh peringatan pada semua peserta sebelum melangkah meninggalkan ruang UAS 1.
Hampir semua peserta ujian menghembuskan nafas lega setelah Bu Endang keluar ruangan. Seolah tidak mendengar peringatan yang diberikan Bu Endang, mereka sekarang beraksi mencari jawaban ke teman.
Aksi mereka itu didukung dengan tidak adanya CCTV di ruangan itu karena yang mereka tempati sekarang adalah gedung baru. Banyak fasilitas yang belum terpasang, termasuk CCTV, LCD proyektor, dan papan tulis. Mungkin itu menjadi satu-satunya yang bisa mereka syukuri di hari pertama ujian ini.
Deretan bangku ke dua dari depan sampai bangku paling belakang mulai ribut. Suara bisik-bisik terdengar bersahut-sahutan. Hanya bangku depan saja yang masih adem ayem karena mereka akan menjadi yang pertama terlihat jika Bu Endang memasuki kelas.
“Ssstt... Gam... Agam... Jangan pura-pura budeg.” Suara itu terdengar dari seorang cowok yang menduduki bangku tengah, lebih tepatnya bangku ke 3 dari depan.
Cowok itu terlihat frustasi karena orang yang dia panggil tidak kunjung menoleh, sedangkan Bu Endang bisa saja sebentar lagi kembali.
Entah sudah panggilan yang ke berapa, yang pasti orang yang dia panggil Agam itu tidak juga menoleh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Let's Date Tomorrow!
Teen Fiction"Harusnya kamu marah dan mutusin aku! Bukan malah ngajak aku pulang bareng!" Jeritan itu hanya bisa Bearly keluarkan dalam hati saat Agam tahu dia tidak tulus berpacaran dengannya. Semua yang Bearly lakukan selama ini hanya karena permintaan kakakny...