“Hati-hati di jalan, Gam. Salam buat papa dan mamamu,” ucap Bibi saat Agam pamit sambil mencium tangannya.
“Iya, Bi.”
Agam beralih mencium tangan pamannya.
“Kalau udah sampai kabari kita ya, Gam. Maaf nggak bisa ngantar kamu ke stasiun. Paman masih harus kerja habis ini,” pesan Paman.
“Nggak apa-apa, Paman.”
Setelah berpamitan dengan paman dan bibinya, Agam melangkah menghampiri taksi dengan ditemani Kamia. Sebuah ransel berukuran besar tampak menggantung di bahunya dan sebuah tas selempang kecil yang berisi barang-barang penting seperti ponsel, dompet, dan charger.
Agam memasukkan ranselnya ke dalam bagasi taksi sebelum masuk ke bangku penumpang diikuti Kamia. Ya, Kamia memang mengantarnya sampai stasiun. Agam sudah bilang jika dia tidak perlu diantar, tapi Kamia tetap kekeuh ingin mengantarnya.
Taksi langsung berjalan setelah Kamia dan Agam duduk di bangku penumpang. Agam tadi sudah sempat pamit pada orang tua Kamia sebelum memesan taksi jadi dia tidak perlu mampir ke rumah Kamia lagi untuk berpamitan.
Di dalam mobil, Agam dan Kamia saling diam. Agam lebih memilih menatap jendela, memperhatikan jalanan kota yang sudah lama tidak dia datangi.
Sementara di sampingnya, Kamia tampak ragu. Beberapa kali dia melirik Agam sebelum akhirnya memilih ikut menatap jendela di sebelahnya.
Sebenarnya ada yang ingin dia katakan, tapi dia masih ragu. Dia takut respons Agam tidak sesuai dengan harapannya.
Menarik nafas panjang, Kamia menoleh lagi pada Agam. Entah bagaimana respons Agam nanti yang pasti Kamia akan mengungkapkannya saat ini juga sebelum semuanya semakin terlambat.
“Mmm ... Gam,” panggil Kamia pelan.
Agam mengalihkan pandangan dari jendela. “Iya?”
Tiba-tiba Kamia dilanda gugup. Bola matanya bergerak ke sana ke mari menghindari tatapan mata Agam. Padahal dia dan Agam sudah bersama sejak kecil, tapi kenapa sekarang dia segugup ini hanya karena ingin bicara dengan cowok itu?
Kamia juga tidak mengerti. Semenjak dia menyadari perasaannya pada Agam, sering terjadi kecanggungan di antara mereka.
Dan, sikap salah tingkahnya saat ditatap Agam seperti ini bukan pertama kalinya terjadi. Kamia sudah sering merasakannya, tapi Agam tampak biasa-biasa saja.
“Jangan galau lagi, ya. Masih banyak cewek yang bisa menghargai perasaan kamu,” ucap Kamia membuat Agam mengernyitkan dahi. Dia tidak mengerti kenapa tiba-tiba Kamia bicara seperti itu.
“Iya.” Agam memilih mengangguk saja. Dia tidak tahu harus merespons seperti apa lagi.
Respons yang Agam berikan tidak membuat Kamia puas. Apalagi cowok itu sekarang kembali menatap jendela.
KAMU SEDANG MEMBACA
Let's Date Tomorrow!
Teen Fiction"Harusnya kamu marah dan mutusin aku! Bukan malah ngajak aku pulang bareng!" Jeritan itu hanya bisa Bearly keluarkan dalam hati saat Agam tahu dia tidak tulus berpacaran dengannya. Semua yang Bearly lakukan selama ini hanya karena permintaan kakakny...