Duka (2)

23.6K 2.6K 39
                                    

RIO

Aku keluar dari ruangan berniat untuk mencari makan dikantin. Dikoridor yang biasanya tampak lalu lalang mahasiswa, sekarang tampak sepi hanya ada beberapa.

"Mau kemana Pak Gio?". Tanya pak yanto saat berpapasan denganku didepan ruang dosen, beliau bersama mahasiswa yang ku tau namanya Bimo atau mahasiswa lain biasa memanggilnya Bimbim.

"Mau nyari makan ini pak, pak yanto gak ada jadwal ngajar?".

"Seharusnya ada pak, semuanya izin jadi sekalian saya liburkan". Aku mengernyit, tumben sekali.

"Mahasiswa menejemen semester 4 ada yang meninggal, jadi teman temannya pada melayat. Saya juga mau kesana ini sebagai perwakilan kampus". Tambahnya.

"Mahasiswa semester 4? Yang mana ya pak".

"Mahardika Restu, itu loh pak anak beasiswa full".

"Innalilahi". Pantas saja Gena tadi terburu buru.

"Saya ikut ya pak". Pak yanto mengangguk,

Aku mengurungkan niat untuk makan siang dan ikut Pak Yanto untuk takziah. Kami menggunakan mobilku menuju rumah Mahardika dan bimo lah yang menjadi petunjuk jalan.

Sekitar 15 menitan dari kampus aku bersama pak yanto dan bimo sampai dikediaman Mahardika, tampak masih ramai diluar rumah. Banyak bunga berserakan dipekarang rumah menandakan jasad Mahardika sudah diberangkatkan kepemakaman.

Aku menyalami beberapa orang diteras rumahnya dan dipersilahkan masuk namun pak yanto berkata untuk tinggal diteras saja bergabung dengan anak kampus yang beberapa dari mereka pernah ku lihat. Suara tangis yang bersumber didalam rumah samar samar ku dengar, ikut merasakan nyeri ketika mendengar suara tangisan itu karena mengingat aku dulu juga sangat sedih ketika kakek meninggal.

Kami duduk diteras ditemani oleh seorang bapak bapak yang katanya Kakak dari ibu Mahardika, aku belum melihat orang tuanya sejak datang tadi.

Deru suara motor mengalihkan perhatianku, 4 motor memasuki pekarang rumah Mahardika dan berhenti dibawah pohon mangga untuk meneduhkan motor.

4 orang yang ku kenal, salah satunya adalah Gena. Wajahnya sangat jauh dari kata baik baik saja. Dia terduduk dibawah pohon sambil memegangi kepalanya. Salah satu teman perempuannya entah berkata apa dan menunjuk kesini.

Entah tak sadar atau masa bodo, dia melewati kami tanpa menegur. Posisi dudukku menghadap ke arahnya yang berada disisi lain teras ini. Kepalanya menyender pada penyangga teras.

"Her, ada dosennya Dika ini". Ucapan bapak bapak yang dari tadi menemani kami mengobrol mengalihkan perhatianku.

Aku menyalami seseorang yang baru saja tiba dengan remaja laki laki dibelakangnya, beliau memperkenalkan diri sebagai Ayah dari mahardika.

Kami mengucapkan turut berbela sungkawa pada ayah mahardika, beliau sangat terpukul bisa dilihat dari raut wajahnya. Beliau mulai menceritakan tentang mahardika yang ternyata sudah mengidap penyakitnya dari awal kelas 3 SMA sampai akhirnya meninggal hari ini.

Mataku terganggu melihat wanita yang berada disebrangku sana. Matanya bengkak, wajahnya memerah. Sangat lusuh. Siapapun orangnya pasti akan merasa terpukul dengan keadaan seperti ini.

Remaja laki laki yang datang bersama Ayah mahardika keluar sambil membawa sebuah kotak dan duduk disebelah Gena.

Aku memperhatikan gerak geriknya, Gena mengambil sebuah foto dalam kotak tersebut namun tak terlihat dari arahku.
______________________________________

GENA

"Ini punya kakak. Kakak selalu nyimpen kenangan kenangan bareng mbak dikotak ini. Beberapa hari yang lalu setelah periksa ke dokter, kakak bilang kalau sesuatu terjadi sama kakak aku harus ngasih ini ke mbak". Aku memperhatikan fotoku dan Dika saat masih duduk dibangku SMP, dulu aku satu organisasi dengan Dika. Dengan jas maron Dika merangkulku kala itu di pinggir lapangan setelah ada acara sekolah.

"Dan ini...". Dika mengeluarkan sesuatu lagi dari kotak.

Sebuah kotak kecil.

"Kakak beliin buat mbak, belum sempet dikasih ke mbak karena kakak masuk rumah sakit". Jefa mengusap air matanya dan menyerahkan kotak itu padaku.

Aku mengamatinya dan membukanya.

Cincin.

Aku mendongak ke arah jefa.

"Dika beliin gue ini?". Jefa menganguk sambil tersenyum kecut.

Perih.

"Kakak orang baik, kakak orang tulus, tapi cuma diberi umur segini".

"Kakak cinta banget sama mbak gena".

"Dia setiap malamnya selalu nyeritain mbak gena, mbak tau seberapa cintanya kakak?".

Aku mengalihkan pandanganku pada jefa.

"Saking cintanya kakak sama mbak, kakak pernah bilang Aku cinta sama dia, tapi aku juga gak mau mengikat dia. Aku gak mau waktu dan cinta gena habis sama orang penyakitan kayak aku".

Perih, sangat sangat perih.

Aku menutup lagi kotak cincin itu dan menutup wajahku dengan telapak tangan. Guncangan hebat datang lagi, pundakku naik turun seirama dengan sesenggukan tangisanku.

Aku terlambat. Ya, aku terlambat dengan semua ini. Aku baru saja menjalani asmara dengan Dika namun dia terpanggil untuk kembali kepada sang pencipta.

Aku terlambat, terlambat mengukir sebuah kisah asmara dengan dia yang ternyata cintanya lebih dariku.

Dika, seseorang yang tak pernah menampakkan cintanya dari dulu. Ternyata cintanya begitu dalam atau bahkan lebih dalam dariku.

Cintaku untuk saat ini sudah habis untuk kamu dik, entah seberapa lama kedepannya aku bisa membuka hati kembali untuk orang lain.

Sekalipun nanti aku bisa menemukan seseorang lagi, sebagian hatiku sudah ikut terkubur bersama kamu.

Terima kasih Dik, menjadikanku cinta dan kekasih terakhirmu.

________________________________________

Hallo guys, terima kasih ya yang masih setia nungguin update an cerita ini. Jangan lupa ninggalin jejak❤

Hot Relationship Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang