94. Berpulang.

945 97 16
                                    

Tidur yang nyenyak, Nita.
-Ciara

•••

Selepas meloloskan satu kalimat singkat dan menggemparkan saudara-saudaranya, Ciara terpaksa disuntikkan obat penenang yang entah dapat dari mana. Gava buru-buru menghubungi salah satu temannya yang tinggal dekat dengan Rumah Sakit dan memaksa untuk melihat keadaan Nita. Tentu ditolak keras pada awalnya. Siapa juga yang mau dipaksa ke luar rumah di jam 3 pagi? Yang benar saja!

Namun, ancaman Gava ternyata lebih menakutkan daripada mendatangi Rumah Sakit di pagi-pagi buta.

Lantas keheningan menyergap seluruh keturunan Rajendra di ruang tamu, semua laki-laki ada di sini, sementara Lisa memutuskan menemani Ciara di kamar. Itu pilihan yang paling masuk akal untuk sekarang, sebab Lisa lebih mengasihani adik iparnya yang kini tengah terlelap tenang.

"Temen lo sial banget diganggu pagi-pagi sama lo, Bang."

"Dia bisa apa?" balas Gava agak songong. Membuat Raffano terkekeh miris.

Bayangan jika dirinya yang diganggu pagi-pagi buta seperti itu membuatnya geleng-geleng kepala, tak habis pikir. Sial sekali. Begitu pikirnya.

Merasa kabar dari temannya terlalu lama, Gava kembali menghubungi temannya dan hampir memaki karena si penerima tahu-tahu lama mengangkat telepon. "Gimana? Dia masih di sana, kan?"

"Atas nama Nita Agustina, kan? Pasien percobaan bunuh diri?" Suara dari balik telepon terdengar meminta konfirmasi, lantas dibalas Gava dengan dehaman singkat. "Sorry, Bro, kalo lu mau main-main ama gua, bisa besok-besok aja, nggak? Pagi banget, Anjing, di-prank sama lo. Brengsek! Gue hampir mati kena serangan jantung!"

"Gua tanya, lo dapet kabar apa." Gava menekan intonasinya, pasalnya temannya ini memang terlalu banyak ngomong. Namun, hanya yang satu itu yang bisa dia mintai tolong di detik ini.

"Udah mati, Goblok! Gua malah digiring Suster ke Ruang Jenazah! Goblok banget lu, asli."

Sambungan telepon langsung diputus sepihak oleh Gava, biar dikata Putra ngomongnya rada nyeleneh, tapi dia paling tidak bisa berbohong. Putra penakut bahkan untuk sekedar berbohong.

Semua keturunan Rajendra kini saling menatap satu sama lain. Mendadak tidak mengerti harus menyikapi situasi ini dengan cara apa terlebih Ciara lebih dulu tahu. Ciara ... dapat penglihatan?

Namun, selaku yang lebih tua, Rama angkat suara. "Semuanya kembali tidur, besok kita ke pemakaman Nita." Untuk sekarang memang itulah yang bisa mereka lakukan. Istirahat untuk menghadiri pemakaman, menghantarkan Nita ke peristirahatan terakhirnya.

***

Pagi-pagi sekali Ezra sudah berada di kediaman Rajendra. Masih sangat pagi, bahkan para Rajendra belum terbangun dari tidur masing-masing. Lisa yang kebetulan terbangun karena rengekan Sam mendengar ketukan pintu, ia lantas bergerak membukakan pintu bagi tamu yang ternyata seorang pemuda yang kerap datang.

"Kok, sepi, Kak?"

"Ya, kamu datangnya kepagian," begitu balasan Lisa sembari menggoyang kecil tubuhnya dengan Sam dalam gendongan.

"Ini udah jam enam, lho. Nggak pagi-pagi banget, Kak."

Lisa tak menjawab, rengekan Sam belum mereda, membuatnya kian gencar menggoyang ke sana-ke mari guna menenangkan putra satu-satunya itu. Melihat itu, Ezra berinisiatif membantu. Dia tidak terlalu paham soal bayi, memang. Namun, sepupu-sepupunya yang berumur di bawah lima tahun selalu saja suka berada di dekatnya. Om dan Tantenya juga pernah bilang bahwa dirinya ini mudah disukai bayi. Ada aura baik, gitu kata mereka.

SIBLING'STempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang