68. Alasan II

1.3K 171 22
                                    

Saat kau sedang berusaha untuk memperbaiki sesuatu yang salah, mengerahkan segala yang kau mampu, lalu kemudian usahamu tidak dihargai bahkan tidak diinginkan. Kau pikir seperti apa rasanya?
-Christie

...

Plak!

Keheningan yang tiba-tiba meraja tepat saat tamparan keras mendarat di pipi putih Kashi, harus kembali terpecah saat suara bariton seseorang menarik perhatian ketiga gadis yang ada di sana.

"Pulang, Dek, Kakak Ipar kontraksi."

Suara bariton yang begitu familiar, yang begitu tegas, juga begitu sarat akan rasa kecewa mengalun tajam menarik perhatian semua orang.

Kanna yang melihat kedatangan lelaki itu ke rumah mereka tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.

"B-bang Gava?"

Kanna mendadak tercekat. Merasa awas bahkan di saat Gava tidak melakukan apa pun. Kanna memang tidak terlalu mengetahui sifat asli pria di depannya ini, tapi dia tahu benar jika Gava sangat menyayangi Ciara, lelaki itu bahkan berani meletakkan nyawanya di tengah-tengah bahaya hanya agar Ciara aman-aman saja.

Tidak bisa dipungkiri, kehadiran Gava benar-benar mengejutkan, bahkan sangat mengejutkan karena abang Ciara itu datang di saat yang benar-benar tidak tepat.

"Ra,"

Ciara menangis, benar-benar menangis. Dia tidak bisa menyembunyikan rasa sakitnya lagi. Terlebih saat melihat air mata Kashi juga jatuh dalam keheningan. Tangis tanpa suara. Tamparan Kanna tidak hanya melukai Kashi, tapi juga melukai Ciara.

Bahunya bergetar, selaras dengan dadanya yang mulai sesak karena tangisnya yang sulit untuk ditahan, Ciara jatuh ke lantai. Ikut menangis meraung-raung memeluk sahabatnya. Kashi adalah temannya, teman kecilnya yang sudah dia kenali bahkan sejak dia masih suka ngompol. Adalah sosok yang bahkan tidak pernah berpisah dengannya kecuali saat malam hari. Adalah cerminan dirinya dalam tubuh yang lain. Kashinya adalah sebagian jiwanya.

"Ciara," suara Gava menelan, mengalun amat lembut tak ingin membuat adiknya semakin terluka. Namun, meski Gava mencoba menyangkal, sekuat apa pun, Gava tahu jika hatinya masih tidak bisa menerima air mata adiknya yang harus keluar karena kata-kata tajam dari Kashi, mantan kekasihnya. "Ra, kita pulang."

Mau tidak mau, tarikan tegas memisahkan pelukan Ciara pada bahu Kashi. Ciara memberontak, mencoba melepaskan diri dan menolak ikut dengan Gava, tapi jelas tenaganya tidak lebih kuat daripada Gava. Lantas tepat saat Ciara berdiri, Gava menatap Kashi dengan tajam---yang masih terisak di lantai.

"Lo ninggalin gue, gue bisa terima, Kash. Lo nyakitin gue, gue juga nggak apa-apa." Kalimat Gava melolos penuh intimidasi. Tangisan Kashi bahkan memelan agar gendang telinganya mampu mendengar suara Gava kendati kalimat yang keluar hanyalah kalimat menyayat.

"Gue tau gue pantes dapetin ini karna gue juga udah berkali-kali ninggalin cewek sesuka hati tanpa ninggalin alasan. Sama kayak yang lo lakuin ke gue sekarang. Tapi asal lo tau..." Kashi berhasil memantapkan hatinya untuk mendongak, menatap Gava nanar dengan air mata yang membasahi seluruh permukaan wajah cantiknya. Tatapannya terkunci dengan manik elang milik Gava yang benar-benar menatapnya seolah dia adalah musuh. "... gue nggak bisa terima, apa pun alasannya, lo ngomong sekasar itu ke adek gue."

"Bang, gue yang sal---"

"Pulang."

***

"Bang, gue yang salah. Gue yang udah terl--"

"Abang nggak peduli siapa yang salah atau yang bener, Ra!" Gava memotong ucapan adiknya lantang.

Ciara menangis, lagi. "Tapi gue yang salah, Bang..."

"Udah gue bilang gue nggak peduli!" Menyadari suaranya yang telah membentak satu-satunya adik perempuannya, Gava menarik napas kuat-kuat dan melepaskannya pelan. Torso tegap itu bergerak memeluk tubuh kecil si bungsu, merangkum hangat mencoba menyerap energi apa pun yang menyakiti adiknya, meredam tangisan Ciara dengan mendekapnya erat. "Dek, dia yang ninggalin gue, ini masalah gue sama dia, tapi dia numpahin semua amarahnya ke lo dengan bawa-bawa Ezra."

"Tapi ini beneran salah gue yang nggak pernah ngertiin dia lagi,"

"Bukan lo, Ra, tapi dia. Dia yang terlalu sibuk sama keinginannya sendiri sampe nggak ngertiin temennya sendiri. Dia yang salah karna nggak terima Ezra ada di dekat lo terus-terusan, dia nggak bisa terima kalo kalian emang nggak bisa sama-sama kayak dulu lagi. Dia terlalu egois. Ini bukan salah lo, tapi Kashi, Kashi yang terlalu egois."

Ciara menggelengkan kepalanya gamang, tidak terima dengan argumen abangnya yang terus-menerus menyalahkan Kashi. Ciara yakin jika ini memang kesalahannya. Murni kesalahannya. Bukan Kashi. Bukan temannya itu. Lantas mendorong dada Gava menjauh, Ciara menatap abangnya kecewa.

"Bang, lo nggak ngerti! Gue emang salah karna gue nggak pernah ada buat dia lagi!" tekannya penuh rasa sesal.

"Ra, sadar! Dia emang temen lo. Gue ngerti gimana perasaan lo ke Kashi. Tapi lo juga nggak harus ada buat dia selamanya, terus-menerus! Lo nggak perlu nempelin dia ke mana-mana, lo nggak perlu jadi tameng dia ke mana pun."

"Tapi, Bang..." Ciara terisak lagi, menangis lagi. Merasa tertekan karena abangnya tidak menerima argumennya dan membuat sudut pandangnya sendiri.

"Kalian bukan bocah yang ke mana-mana harus sama-sama terus, Ra. Kalian udah gede, cepat atau lambat kalian akan punya jalan masing-masing, jalan yang pastinya nggak akan sama lagi. Lo nggak harus nurutin semua maunya dia, Dek. Kalo dia mau temanan sama lo, dia nggak boleh maksa lo untuk 'selalu' ada buat dia se-ti-ap-sa-at." Gava kembali memberikan nasehat dengan menekan beberapa kata.

Baginya, Kashi jelas-jelas salah.

Ketika Kashi sibuk dengan dunianya, adiknya ini tidak pernah menuntut apa pun pada gadis itu, Ciara tidak pernah bersikap egois. Adiknya ini justru selalu memaklumi meskipun dia merasa kesepian. Jadi, saat Ciara yang mulai menemukan dunia baru yang tidak menyangkut-pautkan Kashi, maka gadis itu tidak boleh marah dan menuntut apa pun, Kashi harus bisa menerima.

Karena semakin mendewasa, semakin banyak perubahan-perubahan yang terjadi, itu hukum alam yang tidak bisa didebat.

Ibu dan anak pun tidak bisa terus-menerus bersama. Akan ada saat di mana mereka berpisah sebentar, saat di mana sang anak mencari jati diri atau menikah, lalu kemudian bersatu lagi, dan berpisah selamanya saat ajal menjemput.

"Tapi dia sahabat gue, Bang. Lo tau itu."

"Gue tau." Gava mengangguk kecil. Membenarkan satu argumen adiknya. Lalu setelahnya dia kembali berkata, "Tapi bukan seperti itu caranya bersahabat. Satu lagi, lo nggak perlu ikut campur masalah gue ini, Ra. Ini masalah gue, lo nggak perlu ikut-ikutan."

Kalimat dingin itu benar-benar terdengar dingin, nyaris mengalahkan suhu dingin yang malam ini berkuasa. Ciara tercekat, menahan napas dengan cara paling baik mencoba menahan sensasi aneh yang menjalari seluruh permukaan tubuhnya.

Saat kau sedang berusaha untuk memperbaiki sesuatu yang salah, mengerahkan segala yang kau mampu, lalu kemudian usahamu tidak dihargai bahkan tidak diinginkan. Kau pikir seperti apa rasanya?

[]

HALO?
GIMANA?
ADA YANG SEPEMIKIRAN SAMA GAVA?

SELAMA MEMBACA
JANGAN LUPA JAGA KESEHATAN, JANGAN LUPA TINGGALKAN KESAN KALIAN PAS BACA BAB INI JUGA YA

SEE U

With love,
Christina H💕

SIBLING'STempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang