72. Permohonan Maaf

1.5K 165 13
                                    

Lo tau apa tugas dan kewajiban seorang teman ke temannya, kan?
-Ciara

* * *

Jonathan yang tadinya tengah duduk sendirian di taman depan rumah, melotot ketika melihat seorang gadis berjalan di depan rumahnya, berjalan ragu-ragu dan terkesan terpaksa itu justru membuat Jonathan langsung berlari cepat ke dalam rumah. Berteriak heboh sembari menaiki anak tangga, menuju salah satu kamar saudaranya.

Nihil.

Sosok yang dia cari ternyata tidak ada di dalam kamar.

Lantas dengan dada yang berdentum keras, Jonathan berlari ke arah jendela, melihat ke arah depan rumah mencoba memastikan bahwa penglihatannya tadi salah, agaknya Jonathan justru menghela panik saat yang dilihatnya adalah sebuah kenyataan. Jonathan membola dan berlari ke luar, hendak mencari adik perempuannya dan memberitahukan berita besar ini.

Tapi, justru, kamar Ciara pun kosong.

Dengan cepat, Jonathan turun tangga, tergesa-gesa, dan segera ke kolam berenang. Itu satu-satunya tempat favorit Gava saat ingin bersantai selain ruang tamu.

"Bang Gava!"

* * *

"Pokoknya lo jangan mikirin yang lain-lain dulu. Ini perintah Papa, lo harus hargain semua kebaikan keluarga ini. Bersikap dewasa, jangan kayak anak kecil yang takut nggak punya temen dan ujungnya bersikap egois. Lo pasti bisa."

Kata-kata itu masih terngiang elok di kepala. Mendayu seperti angin sejuk di sore hari, menyemangati tapi juga sedikit mendebarkan. Ah, bukan sedikit, tapi benar-benar mendebarkan.

Kashi masuk tanpa mengetuk pintu seperti biasanya. Dia ingin nampak santai saat masuk ke dalam rumah ini, meski pun rasa cemasnya masih tidak karu-karuan, tapi Kashi mencoba sebaik mungkin. Dengan membawa bingkisan yang entah apa isinya, hanya Kanna yang tahu, Kashi melangkahkan kakinya dengan sedikit terpaksa. Memasuki ruang tengah yang biasanya menjadi tempatnya duduk membaca buku-buku Raffano, atau bersantai dengan Ciara. Juga ... menghabiskan waktu dengan Gava.

Kata Kanna tadi, Lisa tidur di kamar yang ada di lantai bawah, dengan alasan tidak mau repot naik turun tangga, jadi tanpa bertanya pada siapa pun, Kashi melangkahkan kakinya ke depan sana. Pada pintu putih yang menjulang tinggi di sana.

Pintu yang terbuka kecil itu memudahkan Kashi untuk masuk sebenarnya, dia jadi tidak perlu mengetuk atau menimbulkan suara yang bisa mendatangkan para keturunan Rajendra. Tapi, justru, pintu yang sedikit terbuka itu malah membuatnya tidak enak hati. Apa dia akan benar-benar langsung masuk tanpa mengatakan apa pun? Menyapa pun tidak? Tidakkah Kashi terkesan sombong dan tidak tahu diri jika dia benar-benar langsung masuk tanpa mengatakan apa pun?

Ya Tuhan!

Inhale... outhale...

"Tarik napas, Kash, lo pasti bisa. Iya, lo bisa, pasti!" suaranya pelan, menyemangati diri sendiri sebelum mengetuk pintu putih itu dan mendorongnya pelan.

"Kak Lisa?"

"Eh? Kashi?" Lisa yang saat ini tengah menepuk-nepuk kaki bayinya pelan, menoleh. "Aduh, lama banget, ya, kamu nggak ke sini lagi? Kangen tau."

Iya, iya. Lisa sengaja mengatakan itu. Tentu saja. Kashi memang sudah jarang berkunjung ke rumah mereka. Hampir sebulan, kan?

Kashi meringis kecil, diiringi senyum kecut setelahnya. "Iya, nih, Kak. Aku agak sibuk akhir-akhir ini. Maaf, ya, Kak, baru bisa liat sekarang."

"It's okay." Lisa menganggukkan kepalanya dua kali bukan karena dia percaya dengan ucapan Kashi tapi lebih ke karna tidak mau memberikan celah bagi Kashi untuk menipunya lebih jauh. "Kamu dateng aja udah syukur, kok, Kash." Senyuman Lisa adalah pesona wanita itu.

SIBLING'STempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang