85. Meleyot, nggak?

631 102 10
                                    

Gausah sok imut gitu, lo jelek. Pelet lo aja yang paten sampe Ezra bisanya cuma ngeliat lo doang, padahal cewek di sekitar dia banyak banget.
-Kashi

•••

Ternyata kabar tentang kesehatan yang menurun sampai ke telinga sang Ayah. Ciara semakin kesal. Tentu dia tidak ingin Ayahnya khawatir di sana. Namun, Ciara bisa apa? Tidak mungkin dia menutupi tentang dirinya yang jatuh sakit pada satu-satunya orangtua yang dia miliki.

"Ayah ... Ciara hampir sembuh, kok. Abang-abang nggak akan biarin Ciara sakit lama-lama, Ayah tau itu 'kan?" Dengan segenap usaha yang dimilikinya, Ciara masih mencoba merayu Ayah agar tidak perlu terbang dari luar kota. "Ada Bang Andi yang udah kek dokter pribadinya Ciara, nih. Ada Bang Nathan sama Bang Ano juga. Bang Kembar juga sering bawain Ciara makanan. Ada Bang Rama sama Kak Lisa juga, oh, sama Sam juga. Di sini rame tau, Yah. Ciara sebentar lagi juga sembuh."

"Kamu nggak ngerti, Nak, Ayah terlalu khawatir."

"Ciara tau, Ayah, tapi 'kan Ayah baru aja sampe di sana. Masa harus balik ke sini lagi, sih? Buang uang, buang waktu, buang tenaga. Bukannya Ayah bilang klien yang di sana jangan sampe lepas?" Oh, terima kasih untuk telinganya yang tidak sengaja mendengar perbincangan Ayahnya dengan Rama seminggu yang lalu. Ternyata apa yang didengarnya berguna juga, meski dia belum yakin alibinya berhasil atau tidak.

"Sayang ..."

"Iya, Ayah. Ciara akan makan yang banyak, istirahat yang banyak, dan minum obat dengan rutin. Tenang aja. Ciara nggak akan lupa," sahut Ciara mencegah Ayahnya yang akan kembali menyuarakan argumen. Terdengar desahan kecil dari balik telepon yang agaknya menandakan usahanya berhasil.

"Handphone kamu jangan lupa disimpan."

"Oke, Ayah."

"Baiklah, cepet sembuh, Princess."

"Ayah juga jaga kesehatan di sana, ya, jangan sampe ikut-ikutan sakit."

"Iya, Sayang. Ayah tutup telponnya, ya."

Ciara tersenyum dan mengangguk. Belum sempat dia membalas kalimat sang Ayah, panggilan sudah berakhir. Dia menghembuskan napas lega. Meski dia tidak bisa menjamin Ayah tidak akan khawatir, tapi setidaknya dia sudah mencoba meyakinkan Ayahnya agar tidak perlu terbang ke kota ini lagi. Kasihan Ayah.

Dia tidak berbohong tentang dirinya yang akan segera membaik. Itu bukan bualan upaya menenangkan sang Ayah, gadis itu hanya terlalu yakin jika dia akan segera sembuh. Ini hanya demam biasa, bukan masalah besar.

Sebelum menyerahkan ponselnya pada salah satu abang, untuk disimpan sesuai apa kata Ayah, gadis itu melirik aplikasi chat pada gawainya. Tidak ada pesan apapun dari seseorang yang diharapkan. Melepas napas sedikit kasar, Ciara tidak bisa berbohong bahwa dia tidak cemas. Ini sudah lebih dari 24 jam dan dia belum mendapat pesan apapun.

Setidaknya, dia harus menerima laporan tentang seseorang yang kini berkeliaran di kepalanya. Minimal, kabar? Agar dia bisa bernapas dengan lega.

Pintu kamar terbuka, muncul Kashi dan Kanna dengan masing-masing paper bag. Ya, bukan hal yang tabu jika dua gadis ini merepotkan diri seperti sekarang ini. Kanna punya kebiasaan harus repot saat berkunjung ke rumah orang lain. Itu juga alasan kenapa dia jarang berkunjung ke kediaman Rajendra.

"Udah baikan, Ra?" Kanna duduk, di dekat si pemilik kamar, memperhatikan wajah Ciara yang agaknya masih lesu meski tidak seburuk yang sebelumnya. "Itu ada buah, Kakak tadi cari ke pasar. Stok di minimarket deket sini kebetulan habis."

"Jadi repot," sahut Ciara dengan candaan.

Kanna tersenyum saja. Diam sejenak sebelum kembali berujar pelan, hampir seperti berbisik. "Oh, ya, jangan lupa dimakan, ya, Ra. Kalo diminta Jonathan, jangan dikasih. Buat kamu aja."

SIBLING'STempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang