83. Mengigau

635 103 12
                                    

Yang bener jagain adeknya. Kalo udah bangun, kasih minum dulu, jangan dinakalin.
-Gavin

•••

"Bang ..."

Andi menoleh ke belakang, tepatnya pada pintu kamarnya yang terbuka, mendapati Ciara yang datang dengan wajah lesunya. Andi berdiri dengan sigap, rasa khawatir mendadak menyambarinya.

"Kamu sakit?" Begitu katanya saat punggung tangannya mendarat hati-hati tepat pada kening si bungsu. Benar saja, suhu tubuh adiknya ternyata lebih tinggi dari yang seharusnya. "Badan kamu hangat." Diagnosa Andi tepat saat tangannya kembali merasa pipi adiknya yang juga menghangat.

"Bang ..." rengek si bungsu sekali lagi.

Mendengar suara adiknya yang mulai bergetar tak urung membuat Andi meringis dalam diamnya. Sial, Ciara benar-benar akan jatuh sakit. Dia dengar dari Jonathan jika Ciara menangis seharian dan menolak makan saat masalah tentang Kashi itu sudah terpecahkan. Adiknya lagi-lagi menyiksa dirinya.

Lantas dengan cepat Andi merapikan buku-bukunya dan merebahkan Ciara di sana, mengeluarkan alat kompres dari laci nakasnya setelah memberikan air putih untuk Ciara.

"Kamu udah makan apa aja hari ini?" tanyanya sembari mengusap pucuk kepala adiknya.

Ciara menggeleng pelan. Mengakui bahwa dia tidak memakan apapun. Andi lantas membuang napas sedikit kasar.

"Tunggu sebentar, Abang ambil makanan dulu. Badan kamu lemah karna nggak dapet asupan makanan, Ra. Kamu harus makan."

"Bang ..."

"Abang nggak mau denger penolakan dalam bentuk apapun. Abang bilang makan, artinya kamu harus makan." Lelaki itu melepas kaca matanya sebelum keluar kamar dan membiarkan adiknya di sana.

Ciara hanya bisa menurut, dia memang harus memakan sesuatu jika ingin kondisinya membaik. Kepalanya terasa berat, dia yakin ini terjadi karena efek menangis dan tidak tidur semalam suntuk. Otaknya tidak mendapat oksigen dengan baik hingga membuat kepalanya sakit. Tenggorokannya pun ternyata terasa perih, terbukti saat dia meminum air putih tadi. Jangan lupakan kelopak matanya yang sangat berat seolah menahan beban. Sangat berat.

Ciara beberapa kali terpejam, tidak bisa menahan kelopak matanya yang terasa semakin berat, tapi kemudian membuka matanya kembali karena abangnya akan datang sebentar lagi. Dia harus menunggu. Obsidiannya bergulir menatap jam digital di sampingnya. Mengamati angka-angka yang berubah bentuk sebagai tanda detiknya tetap berjalan. Namun, entah kenapa, detik jam terasa sangat lambat.

Ciara melirik ke arah pintu, berharap Andi segera muncul dari balik pintu itu dengan makanan yang dia janjikan.

1 menit ...

2 menit ...

Tidak ada siapa pun.

Ciara memejamkan matanya erat lalu membuka kembali, mencoba menepis rasa kantuknya sekali lagi. Dia harus bersabar, Andi akan datang.

3 menit ...

4 menit ...

5 menit berlalu dan sosok abangnya tak kunjung menampakkan diri. Hingga tiba pada saat di mana dirinya tak lagi sanggup menahan kantuk serta dentumam di kepalanya, kelopaknya meredup seiring dengan detik jam yang berjalan.

Saat matanya tertutup sempurna, saat itulah dia mendengar suara pintu terbuka, dan setelahnya tidak mendengar apapun lagi.

***

"YASH! NISHIMURA RIKI! I LOVE YOU!"

Debuman pintu lantas terdengar tepat saat teriakan menggema itu mengudara memecah perhatian setiap orang. Raffano yang baru saja keluar dari kamarnya lantas memacu langkah dan berlari mendobrak pintu di depannya, sedikit sakit karena bahunya terhantam cukup kuat pada daun pintu.

Gavin yang kebetulan sedang tidak bekerja ikut berdiri dengan napas yang memburu akibat berlari dari lantai bawah. Teriakan melengking seorang gadis menyita perhatiannya. Siang tadi dia mendapat telepon dari Jonathan yang melaporkan bahwa si bungsu sedang sakit, Andi menambahi jika adik cantiknya itu ternyata jatuh pingsan pagi tadi. Alasan kenapa dirinya ada di rumah saat ini adalah ucapan Andi yang begitu mengusik pikirannya.

Mencoba tetap bekerja dengan hati dan pikiran yang terus tertuju pada adiknya sama saja seperti menelan angin di kala lapar.

"Kenapa, sih?" Belum sempat Gavin bertanya pada Raffano yang mendekati kasur adiknya, Jonathan muncul dengan wajah kebingunan. Gavin menoleh pada adiknya, lalu menggeleng.

Keduanya mendekati kasur Ciara mengekori aksi Raffano yang kini tengah mengusap kening adiknya pelan.

"Dia mimpi." Raffano menatap kedua saudaranya bergantian. "Mimpi apaan, sih, sampe menjerit gitu?" gumamnya kemudian, bertanya pada dirinya sendiri. Dia hampir membanting pintu kamarnya sendiri tadi.

"Tadi gue kek denger dia bilang 'i love you'. Iya, nggak, sih?" Jonathan tidak yakin, karna dia sedang ada di taman belakang saat mendengar teriakan dari lantai 2 yang mana tepat di belakangnya.

"Iya," Raffano mengangguk, dia juga dengar kata itu tadi. "Dia mimpi apa, ya?"

"Dia tidur, 'kan? Bukan pingsan?" tanya Jonathan lagi.

Raffano berdecak kecil. "Ciara lagi tidur."

Jonathan mengangguk kecil, diikuti Gavin diam-diam.

"Di mana Andi? Bukannya tadi Andi yang jaga Ciara?" tanya Gavin pada kedua adiknya. Agaknya dia ingin bertanya lebih rinci dengan adiknya yang satu itu.

Selain karena Andi mampu menjelaskan dengan baik dan benar, adiknya yang satu itu adalah orang terakhir yang Ciara temui sebelum pingsan, dan Gavin merasa bahwa Andi adalah orang yang tepat untuk diajak bicara saat ini. Bukan kedua adik laki-lakinya yang kini tengah berdebat kecil.

"Bang Andi lagi keluar, Bang. Nebus resep sekalian beli keperluan P3K."

Gavin mengangguk. "Kalo gitu Abang ke kamar dulu. Nanti kalo Ciara udah bangun, panggil Abang." Gavin menepuk bahu Jonathan lalu berbalik. Sebelum tungkainya melangkah lebih jauh, lelaki itu kembali berbalik dan menitipkan pesan. "Sekalian, kalo nanti Andi udah pulang, suruh temuin Abang, ya?"

"Siap, Bang."

"Iya, Bang."

Gavin mengangguk kecil. "Yang bener jagain adeknya. Kalo udah bangun, kasih minum dulu, jangan dinakalin."

Jonathan diam saja mendengar ucapan abangnya itu. Sisi posesif Gavin ternyata keluar di saat seperti ini.

Gavin melangkah keluar kamar si bungsu dengan pasti, tubuhnya terasa lelah, sangat berat, seperti akan remuk. Dia yakin jika tubuhnya kelewat lelah karena beberapa masalah pekerjaan yang datang akhir-akhir ini. Saat menghadapi pekerjaan itu, entah karena semangat yang membara atau semacamnya, dirinya sama sekali tidak kelelahan.

Gavin ingat, terakhir kali dia tidur dengan benar adalah 3 hari yang lalu. Sedangkan, kemarin dirinya hanya ketiduran sekitar 5 menit di kafetaria. Itu mungkin bisa disebut sebagai pingsan singkat. Karena saat dia bamgun, dia tidak ingat dirinya ada di kafetaria dan bergegas ke kantor saat itu juga.

"Gue harus tidur dengan baik hari ini," monolognya sembari melepas setelan kerjanya menjadi pakaian yang lebih santai.

Tepat saat tubuhnya sudah berbaring perlahan, Gavin tiba-tiba merasa sendu. Belakangan dia jarang pulang, sampai dia lupa kapan terakhir pulang ke tempat ini. Andai bukan karena pendidikannya yang sebentar lagi akan selesai, Gavin rasa dia tidak akan selelah ini.

"Sebentar lagi, Gav." Napasnya dilepas kasar. "Saat kuliah selesai nanti, lo cuma akan urus perusahaan, dan bisa pulang sesuka hati."

Semoga saja.

Gavin berharap dia tidak dikekang perkerjaan sebagaimana Rama yang sangat gila kerja itu. Dia tidak berharap dirinya seperti itu.

***

With no edit, guys.
Hope u guys enjoy:)

SIBLING'STempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang