63. Kisah Lain

1.5K 172 23
                                    

Jika ada sesuatu yang bisa diberikan orangtua untuk menggantikan anaknya, mereka akan dengan sukarela memberikan nyawanya.

-Rajendra

...

Ah, wanita ini. Ciara hampir saja mengusir wanita paruh baya ini jika tidak mengingat Lisa yang adalah keponakannya. Lihat! Bahkan saat wanita itu melihatnya, wanita berambut bob itu sudah memutar bola mata, terlihat muak. Ya, Tuhan, tolong tahan Ciara agar jangan merusak momen ini.

Ayah yang baru saja pulang tadi malam berjalan menyambut dua wanita paruh baya itu dengan hangat, menyalaminya sopan sebelum mempersilahkan mereka duduk.

"Lisa masih di kamar, Bu Lila, mungkin sebentar lagi akan turun. Harap maklum, usia kandungannya membuatnya tidak leluasa bergerak." jelas Ayah penuh sopan santun, serta kehangatan yang membuat Bu Lila, Ibu kandung Lisa, serta Tante bermata sinis itu, sebut saja namanya Tante Wati; tersenyum menanggapi.

Oke, kenapa rasanya Ciara muak meski hanya menyebut Tante pada wanita itu, ya?

Bu Lila, atau ehm, bolehkah Ciara menyebutnya Ibu juga? Atau Tante? Ah, terserah lah.

"Iya, Pak Rajendra, saya mengerti. Saya juga pernah merasakan itu, dulu." Tante Lila balas tersenyum mendengar penuturan Ayah, wanita itu mengangguk mengerti dan entah sejak kapan menatapnya ramah. "Ah, Ciara?"

Eh? Ciara terkejut kaget, gadis itu tersenyum kaku. Bingung harus membalas sapaan Bu Lila seperti apa--eh, Tante Lila maksudnya.

"I-iya, Tante?"

"Lho? Kenapa manggilnya Tante? Kamu boleh panggil Ibu, kok."

"Apa?" Ciara melotot sejenak sebelum membungkam mulutnya sendiri dengan telapak tangannya karena tanpa sadar berteriak pada wanita berhati baik itu. Lila pun terlihat terkekeh geli dengan ekspresinya, sedangkan, Ayah malah tertawa maklum. "Maaf, Tante, eh maksudnya Bu, aduh gimana, sih, ini? Apa ... Ciara boleh panggil 'Ibu'
? Nggak apa-apa?" tanyanya terbata-bata. Dia hampir melupakan rasa tidak sukanya pada wanita bermata sinis yang kini menatapnya tak percaya.

Lila terkekeh lagi. Lihatlah, caranya tertawa saja membuat Ciara bahagia tanpa alasan. Wanita itu menjawab, "Kenapa tidak? Kamu adiknya menantu Ibu, nggak ada salahnya 'kan kamu juga memanggil Ibu dengan sebutan yang sama dengan Abang kamu?" Ah, coba lihat mata itu, menenangkan sekali. "Ya... itu pun jika Nak Ciara mau, kalau tidak juga tidak apa-apa,"

"Mau, Bu, mau! Ciara mau!" seru Ciara antusias sembari berlari menggapai wanita itu dan memeluknya hangat.

Bu Wati yang melihat itu, entah kenapa, ikut merasakan kebahagiaan yang dipancarkan oleh saudara ipar dari keponakannya. Tanpa sadar dia tersenyum, namun senyumannya tidak berlangsung lama karena sepersekon kemudian wanita itu menelan senyumannya dan menatap datar pada gadis yang kini memeluk Kakaknya.

"Wah, wah, ada apa ini? Aku ketinggalan apa?" Tiba-tiba Lisa datang bersama dengan Rama, duduk di kursi dekat Ayah setelah mengecup tangan Bibi Wati dan Ibunya. Wanita itu sedikit meringis karena janinnya menendang-nendang di dalam kandungan. "Duh, Ra, gantian dong sama Sam, dia juga mau meluk Nenek katanya." ujar Lisa bercanda.

Ciara terkekeh dan berjalan menghampiri Lisa, si Kakak Ipar kesayangannya. Gadis itu duduk di sebelah Lisa lalu mengusap perut Lisa lembut. "Kamu nggak boleh cemburuan, ya, Sam. Nggak baik, tau. Aunty baru dapet pelukan dari Nenek kamu, kamunya udah cemburuan aja." celotehnya riang. "Awas nanti kalo udah gede."

"Aunty, sayang Sam 'kan?" Lisa harus menekan nada suaranya agar terdengar seperti suara bayi yang sedang berbicara dengan Ciara. Wanita itu tertawa keras saat melihat Ciara merengut pura-pura sebal. Lalu dia melanjutkan, "kalo Aunty sayang, Aunty jangan nakalin Sam."

SIBLING'STempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang