96. Aura Jelek Jonathan

621 75 16
                                    

Sam takut dideketin si Nathan, artinya dia bisa ngerasain aura-aura jelek di badan si Nathan.
-Raffano

•••

Hari senin adalah hari pembuka dalam pekan, juga menjadi hari yang menyebalkan bagi sebagian-ah, tidak-hampir setiap orang. Tidak terkecuali Ciara yang hari ini akan memasuki dunia perkuliahan. Katanya, ini adalah fase yang tidak bisa dibilang rumit, tapi juga tidak sesantai itu. Ada saat-saat di mana rasa lelah akan menyambutmu tanpa belas kasih. Tentu saja, setelahnya akan ada rasa lega yang datang saat kepenatan dapat diselesaikan dengan baik. Intinya,

"Jalani aja," ucap Raffano tadi malam seraya menepuk pundak adiknya menyemangati. "Bakalan seru, kok."

Ya, tentu saja. Ciara harus menjalani ini dengan iming-iming bahwa dunia perkuliahan seseru itu.

Gadis itu melirik motor matic barunya sekilas, menatap penuh bangga karena motor itu dibeli oleh uangnya sendiri. Ah, maksudnya, uang Ayah juga turut serta menambahi sedikit kekurangan. Tidak banyak, kok, hanya sedikit. Lalu, si Bungsu menatap ke arah Gava yang tengah duduk di teras sembari menyesap secangkir teh yang tadi ia buatkan di sela-sela persiapan dirinya yang akan ke kampus. Laki-laki itu tersenyum hangat dan bangga.

Iya, Gava bangga karena adiknya yang dulu hanyalah anak kecil yang tahunya merengek dan merajuk kini telah bermetamorfosa menjadi gadis cantik yang cukup dewasa. Ada rasa haru yang merambat di relung hatinya. Terharu karena gadis satu-satunya di keluarga Rajendra kini akan mulai menata kehidupan yang berbeda.

"Gitu banget liatinnya," keluh si Bungsu yang kini turun dari motornya dan mendekati Gava. "Gue mau ngampus kali, Bang, bukan mau nikah."

Ah, betul sekali.

Alih-alih menyahuti ucapan adik cantiknya itu, Gava justeru menunduk sejenak menyembunyikan ekspresinya di sana, sebelum mengangkat wajah lagi dengan senyum kecil yang nampak semakin menghangat. "Iya, yak."

"Dih, apaan, sih? Gaje banget lu, Bang, aslian." Jonathan yang sejak tadi menunggu Ciara dan menyaksikan adegan picisan di depan matanya dibuat mencibir.

Mendelik nyolot ke adiknya itu, Gava lantas membalas. "Ya, lu mah kagak tau aja rasanya berangkatin adek ke kampus 'tuh kayak apa."

"Lah, terus lo liat gua lagi ngapain, Markonah? Nonton pilem?" Tatapan tak bersahabatnya menghunus lurus ke arah abangnya yang sudah menggerakkan bibirnya tanpa suara, mencibir dalam diam. "Gua juga lagi mau nganterin adek gua ngampus ini!"

"Tetep aja lu nggak bakalan tau gimana rasanya jadi gua." Tidak ada kata mengalah kali ini. Gava meletakkan tehnya lalu berdiri gagah di lantai teras dengan Ciara yang kebingungan. "Lu mah-"

"Apaan, sih? Apaan, sih? Apaan, siiihhh?" Ciara menyela tak kalah nyolot, menghentikan cekcok kecil-kecilan itu. "Kalian pada ngapain, sih? Ini gue bisa telat kalo nontonin lo-lo pada ribut gini. Berangkat sendiri, nih, gue!"

"YE, JANGAN ELAH." Seruan dua abangnya itu terdengar serempak, membuat Lisa dan Sam keluar dari dalam rumah.

"Belum berangkat, Ra?" tanyanya lembut yang dibalas gelengan kecil oleh Ciara. "Sam, ayo, semangatin Onti Ciaranya, Nak." Dengan tangan kanan Sam yang digerakkan kecil, Lisa tertawa senang saat melihat Sam yang bergerak kegirangan.

Bocah berumur satu tahun dua bulan itu meronta ingin turun dengan tatapan yang tertuju lurus pada Ciara. Mengerti apa yang diinginkan bayi itu, Lisa membungkuk dan membiarkan telapak kaki Sam menyentuh lantai, disusul Ciara yang meraih tubuh gembul keponakannya dan menciuminya.

"Onti. Onti. Ontiiii." Sam terdengar begitu girang saat menyerukan kata yang akhir-akhir ini mereka ajari. Bayi gembul itu menyemangati Ciara dengan tawa girangnya yang menawan.

"Iya, Sayang. Onti semangat, nih. Sam tunggu Onti pulang, ya? Nanti Onti bawain roti kesukaan Sam, deh."

Seolah mengerti apa yang Ontinya bicarakan, Sam bergerak kegirangan lagi dalam gendongan Ciara. Disusul kedua tangan kecil yang berangsur melingkari leher Ciara. Wah, keponakannya tumbuh begitu baik. Ciara gemas ingin memakan Sam.

"Ih, Angkel juga disemangati, dong, Boy. Masa Onti, doang? Angkel juga mau sekolah, nih." Tak ingin melewatkan momen berharga itu, Jonathan turun dari motornya dan hendak mendekat adik dan keponakannya yang berdiri sekitar beberapa meter dari posisinya. Sayang, dalam jarak satu meter lebih dekat, Sam mendadak menangis dan membuat semua orang dewasa yang ada di sana kelabakan.

"Loh? Loh? Sam, kenapa, Sayang?" Ciara mengikuti nalurinya untuk bergerak mengayun kecil tubuhnya guna menenangkan Rajendra cilik. "Kak, ini-aduh-kok Sam malah nangis?" Merasa usahanya sia-sia, Ciara langsung menyerahkan Sam pada sang Ibu.

Melihat Ciara dan Lisa yang kelabakan serta Gava dan Jonathan yang sudah pasang ekspresi bodoh membuat Raffano yang baru mengeluarkan motornya tertawa keras dari kejauhan.

"Buset, Nat. Sam pinter banget bisa bedain mana orang baik sama yang enggak." Gelak tawa laki-laki itu membuat semua orang dilanda kebingungan.

Maksudnya?

"Apa, sih?" celetuk Gava tak paham.

"Liat noh, Bang. Sam takut dideketin si Nathan, artinya dia bisa ngerasain aura-aura jelek di badan si Nathan." Tawanya pecah lagi saat mendapati Jonathan yang menatap sedih ke arah Sam.

"Gua udah tobat dari lama padahal. Apa dosa gua sebanyak itu, ya?" katanya terdengar lebih sendu. Kepalanya tertunduk lebih dalam seolah sedang amat sangat merenungi dosanya di masa lalu. 

"Dih, goblok." Gava tak tahan untuk tidak mengumpat. "Mau aja lu dibodoh-bodohi si Ucup? Nggak nyangka gua lu segoblok ini," lanjutnya dengan tatapan yang memindah Jonathan dari atas sampai ke bawah seolah sedang mengamati seonggok sampah.

Jonathan bergeming di tempatnya. Wajahnya yang melas membuat Ciara juga ingin mengumpat. Namun, diurungkan karena waktu yang tidak memadai.

"Udah-udah, Bang Nat, kita berangkat aja, yok." Lengan kecilnya ditautkan pada lengan kekar milik abangnya. Si yang lebih tua menoleh, lalu tersenyum. "Hampir telat ini."

"Cium dulu, Ra!" seru Gava yang santai saat melihat Ciara dan Jonathan yang serempak menaiki motor. Gava berlari mendekati adiknya itu, lalu tersenyum bahagia saat Ciara melepaskan satu kecupan di pipinya. "Baek-baek lu di kampus, belajar yang bener jangan ngelirik cowok sana-sini. Harus ramah, tapi jangan keramahan juga. Kalo ada cowok yang deketin, tiati. Pinter-pinter cari temen, jangan semua orang dipukul rata. Oke, Princess?"

Baru saja Ciara akan mengangguk mengamini ucapan abangnya, suara Jonathan menginterupsi. "Alay pake banget."

"Diem lu!"

"Iya, Bang, iya. Yaelah, lagian 'kan si Nathan juga di sana, nggak bakal ada yang berani ngecengin gue, deh, keknya." Ciara tidak yakin tentang ucapannya sendiri-sebenarnya, tapi dia bisa menebak hal-hal apa saja yang akan Jonathan lakukan jika ada yang mengganggunya. Diliriknya Jonathan sekilas.

Tatapan Gava beralih ke Jonathan yang dibalas hal serupa oleh adiknya itu. Keduanya saling tatap seakan saling bertukar pikiran.

"Oke?" Gava masih menatap.

Jonathan mengangguk kecil. "Oke."

Raffano terkekeh. "Kalian pada ngapain? Telepati?"

"Udah, ayok, ah, buruaaaannn." Tarikannya pada lengan Jonathan memutus telepati ala-ala itu. Lisa yang menonton drama khas Gava-Jonathan dibuat terkekeh kecil. Selalu begitu memang. "Kak, Ciara pamit, ya."

"Iya, Ra, hati-hati."

"Okay, let's go!"

[]

Hi, kaget nggak?
Aduh aku sebenarnya punya beberapa draft buat di-publish, tapi entah kenapa aku ngerasa butuh merubah banyak hal, jadinya updatenya nanti-nanti mulu, revisi juga lebih susah dari pada bikin alur baru, jadinya ya gitu deh.

Maafin ya, Manteman.
Ini aku update, nih, selamat membaca dan semoga suka hehehe.

Saran dan masukan ditunggu banget, lho, yaaaa

SIBLING'STempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang