97. Perihal Wajah

420 71 6
                                    

Siapa, sih, yang percaya seandainya lo bilang kita nggak saling kenal?
-Jonathan

•••

Sesuai dugaan, dari kejauhan pun jalanan sekitar kampus sudah nampak ramai, begitu kentara bahwa tempat ini sedang kedatangan para peserta didik baru. Ciara menepikan motornya sekitar 50 meter dari gerbang kampus, diikuti Jonathan yang ikut menepi di belakang motor adiknya.

"Kenapa, Dek?" tanya Jonathan.

"Bang, anu ... gue lupa bilang, bisa nggak kalo di kampus 'tuh kita nggak usah-"

"Nggak ada."

"Belum juga selesai ngomong, ish."

"Gue bilang enggak."

"Dengerin gue dulu napa."

Jonathan melepas helmnya lalu menatap adiknya tajam setelah mengusap rambutnya asal.  "Lo mau kita rahasiain kalo kita abang-adek? Sakit lo?"

"Bang, ayolah ..."

"Gue udah bilang enggak, kurang jelas?"

"Gue ngerasa kita perlu ngelakuin ini," ujarnya mencoba meyakinkan abangnya. "Gue yakin pasti lo cukup populer dan gue keknya bakal terganggu dengan itu."

"Lo terganggu karna punya abang populer? Sejak kapan?"

"Bang, gini. Kita nggak harus gimana-gimana, kok, cukup lo nggak usah deket-deket sama gue aja, atau jaga jarak banget lah. Soalnya banyak orang yang bilang kita mirip, ntar kalo kita ada di tempat yang sama, orang-orang pasti bakalan curiga-"

"Itu lo tau," sela Jonathan cepat. Menarik perhatian adiknya lagi. "Mau lo di ujung mana juga, ya, tetep aja orang-orang bakalan mikirnya kita sodara, atau bisa jadi dikira kembar. Nggak usah aneh-aneh lah, Dek. Ngampus tinggal ngampus, doang, jangan dibawa ribet."

"Tapi-"

"Sebenarnya lo mikir apa, sih? Gue yakin alasan lo bukan sekedar karna kepopuleran gue, doang. Secara dari SMP juga lo selalu kecipratan kepopuleran gue dan lo okay, kan? Lagian siapa, sih, yang berani macem-macem sama lo selagi ada gue?" Agaknya segala macam asumsi sudah menyambangi kepalanya, tapi bertanya pada adiknya adalah cara yang paling benar. Demi apapun, dia tidak akan sudi merahasiakan hubungan keluarga mereka di depan orang-orang kampus. Itu justeru mempermudah orang-orang untuk mengganggu adiknya.

Bungkamnya Ciara berhasil membuat Jonathan menghela napas. Dia tidak mau tahu apapun alasan si Bungsu. Catat, apapun. Sebab itulah alasan kenapa Ciara harus bergabung dengan di kampus ini. Bukan semata-mata jurusan yang diambil Ciara atau karena kampus ini yang paling dekat rumah, tapi karna Jonathan tetap harus bertugas untuk melindungi adiknya bagaimanapun caranya.

"Nggak usah mikir hal-hal aneh. Alasan apapun itu, gue nggak akan nerima ide lo untuk main rahasia-rahasiaan. Yakali? Bisa digibeng gue kalo sampe nurutin mau lo yang aneh ini."

Ciara menghela napas tak suka. Dia sudah menduga jawaban itu yang akan didengarnya dari Jonathan. Dia hanya tidak ingin seseorang mendekati dan mengajaknya berteman hanya karena presensi Jonathan dan bukan karena tulus ingin berteman. Tidak ada Kashi di sini, maka dia harus bisa berdiri sendiri, mencari sosok teman yang baik sendiri, dan bersosialisasi sendiri, tanpa Kashi pun inginnya tanpa Jonathan juga. Namun, sepertinya harapannya hanya akan menjadi sekedar harapan. Dia tetap akan dikenal orang sebagai adik Jonathan.

Itu agak meresahkan, serius.

"Lagian, Ra, muka lo itu kopas muka gue banget, nggak mungkin orang-orang bisa ketipu." Si yang lebih tua mencoba memberikan pemahaman lebih-membuat Ciara menatap abangnya lagi seraya melepaskan napas agak kesal. Dia tahu yang satu itu, sangat tahu. Tolong jangan diingatkan.

Lantas setelah menarik napas kuat-kuat guna menepis rasa tidak nyaman dalam dada, Ciara mencibir. "Bangga banget lo ngomong gitu?"

"Ya, iya lah! Ngaca coba, mulai dari jidat nyampe dagu, muka lo itu kopian muka gue banget-nget-nget. Siapa, sih, yang percaya seandainya lo bilang kita nggak saling kenal?"

"Cih. Awas aja ntar kalo gue punya uang, gue mau oplas biar nggak mirip sama lo lagi."

Mendengar itu, Jonathan dibuat tertawa seraya memakai kembali helmnya. "Iya, ntar gue temenin oplasnya. Nabung dulu, gih."

***

Setiba di parkiran, Jonathan memarkirkan motornya tepat di sebelah milik adiknya yang membuat beberapa orang ikut memusatkan perhatian pada keduanya. Agaknya Jonathan tidak ingin menyombongkan ketenarannya atau membuat orang-orang menyadari bahwa dia salah satu orang paling dikenal di SMA dulu.

Namun, berhubung kampus ini merupakan kampus swasta terdekat dan sebagian alumni SMA-nya dulu menempuh pendidikan di tempat ini, Jonathan tidak bisa menyembunyikan popularitasnya kendati belajar luring baru saja dibuka. Orang-orang dari SMA tetap menjadikannya kandidat laki-laki idaman atau bahasa kerennya-boyfriend material.

Ciara menyadari kegundahan abangnya, diliriknya orang-orang yang kini menaruh penuh atensi pada mereka, atau lebih tepatnya pada abangnya, Jonathan. Beberapa orang yang mungkin tidak mengenali Jonathan lantas dibuat ikut menggila presensi abangnya berkat bantuan orang-orang dari SMA dulu. Ah, apakah Ciara bisa menyebutkan itu sebagai bantuan?

"Ngapain diem aja? Kesambet setan parkiran lo?"

Si yang lebih tua mendelik sebelum menjitak kepala adiknya tanpa menyakiti sang adik, dibalas geraman kesal oleh sang korban, tentu saja. Keduanya kembali jadi bahan tontonan.

'Itu Jonathan sama Ciara? Mereka satu kampus lagi?'

'Iya, deh, keknya.'

Ciara menatap ke arah sumber suara, dilihatnya dua perempuan yang seingatnya bukan berasal dari SMA mereka dulu, tapi wajah keduanya familiar. Apa mereka tetangga? Ah, terserah. Ciara tak terlalu ambil pusing, maka dengan santai dia melihat-lihat bangunan kampusnya, dan sesekali terpukau dengan desain gedung itu.

'Eh, itu siapa woe, ganteng banget, gila.'

'Yang disampingnya itu juga cantik, siapa, sih?'

'Maba-maba di sini agak nggak ngotak, gitu, ya. Visual semua anjir.'

'Ah, iya. Baru ngeh dari tadi yang masuk keknya pada ganteng semua.'

'Dunia agak nggak adil, Anjir.'

Bisik-bisik dari sana-sini mulai terdengar. Jonathan menatap adiknya. Ah, Ciara Ini memang sesuatu. Agak congkak, tapi bukan seseorang yang sebenarnya sombong. Ciara hanya pandai membuat dirinya terlihat superior di tempat dan keadaan tertentu. Lihatlah sekarang, gadis itu tengah berjalan pongah dengan dagu yang terangkat sedikit hingga menekankan aura orang sombong yang cukup kuat, bahkan caranya berjalan saja jelas sedang dibuat-buat sedemikian rupa. Jonathan terkekeh pelan tanpa sadar.

'Eh, mereka itu abang-adek atau kembar.'

'Gila, sih, kalo kembar.'

'Denger-denger anak borjuis, ya?'

'Kurang tau, sih, tapi keliatannya gitu.'

'Anjir itu ceweknya keliatannya sombong banget, cih. Lahir di keluarga kaya aja bangga.'

'Heh, nanti anaknya denger.'

'Bodo. Cabut, yuk.'

Keduanya berlalu tanpa menyadari bahwa ucapannya telah mengusik Ciara. Namun, alih-alih terganggu dan meletakkan dendam, Ciara melirik kedua gadis yang tengah berjalan menjauh sembari sesekali menoleh ke arahnya, entah untuk apa, tapi Ciara yakin bahwa mereka diam-diam mencoba mengingat wajah Ciara dengan baik. Hal yang sama Ciara lakukan. Menatap wajah dua gadis itu untuk kemudian disimpan baik dalam memorinya.

"Buset, gue kit-ati, nih, dibilang sombong." Gadis berkemeja warna baby blue dengan paduan outer berwarna hitam itu mengadu pada yang lebih tua. Matanya berkedip-kedip bak anak anjing yang sedang bermanja-manja, ekspresi yang sangat dibuat-buat. Jonathan berlagak akan muntah alih-alih mengusap pucuk kepala adiknya, membuat Ciara memekik pelan. "Ih. Awas aja lo nyampe rumah!"

"Gue tunggu."

[]

SIBLING'STempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang