75. Sok Cool, Sok Kul

1.4K 161 20
                                    

Udah seminggu nggak ketemu, sekalinya ketemu malah dijutekin
-Gavin

•••

Merupakan kebohongan besar jika Lisa bilang dia merasa tenang setelah mengatakan kalimat tadi pada Ibu dan Bibinya. Karena biar bagaimana pun, Lisa sebagai anak yang sudah merasakan sendiri bagaimana kejamnya Ibu serta Bibinya itu padanya, tahu benar resiko apa yang akan dia hadapi kelak.

Lisa menangis.

Hari-harinya yang seharusnya bahagia karena dia baru saja melahirkan keturunan Rajendra ke dunia, kini mendadak amburadul. Lisa merasa sedih, hatinya tercubit saat menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri jika sang Ibu belum juga berubah. Dia hanya menginginkan Ibunya menjadi seperti Ibu orang-orang yang bisa memperlakukan anaknya baik tidak hanya di depan tapi juga di belakang khalayak ramai.

Lisa lelah. Dia muak.

Lisa muak saat Ibunya selalu mengelu-elukan dirinya pada sesama teman arisan, disombongkan dengan begitu angkuh hingga banyak dari teman arisan Ibu membenci sikap Ibu yang seperti itu, tak jarang juga Lisa jadi sasaran kekesalan mereka-mereka yang tidak menyukai Ibunya. Tapi, di balik itu semua, di belakang ungkapan penuh kebanggan itu, Lisa tidak lebih buruk daripada alat yang keberadaannya diujung tanduk, antara butuh dan tidak dibutuhkan.

Miris.

Tangisan Sam yang semakin keras menarik perhatian Rama yang masih duduk di ruang tamu dengan sang Ayah, membuat Ayah satu anak itu segera berlari dan melihat apa yang membuat anaknya menangis. Rajendra yang juga merasa cemas ikut berlari tergopoh ke dalam kamar anak dan menantunya itu.

"Sayang? Sam-nya kenapa---" Rama terkejut. Tentu saja. Mendapati anak dan isterinya menangis bersamaan merupakan sebuah musibah bagi Rama. Dia benci melihat air mata isterinya, dan itu juga berlaku bagi anaknya. "Sayang, udah, nggak apa-apa. Kamu udah benar." Rama memeluk isterinya sayang.

Rajendra yang paham bagaimana perasaan sang menantu saat ini memilih menggendong sang cucu dan membawanya keluar. Disambut Andi yang ternyata juga mendengar tangisan keponakannya.

Sementara itu, Lisa masih menangis dalam pelukan Rama. Hatinya masih hancur. Dia mencoba menata ulang hatinya, mencoba menerima dengan lapang dada, tapi sekeras apa pun usahanya, dia akan kembali hancur saat mengingat bagaimana mengerikannya perilaku Ibunya itu. Dia ingin membenci, tapi dia juga tidak ingin menjadi anak durhaka.

"Sayang, sstt..." kecupan-kecupan ringan mendarat di kepala Lisa.

Rama ikut duduk di dekat isterinya, ditariknya wajah wanita itu agar berada tepat di hadapannya. Senyumannya merekah kecil, tapi sarat akan kasih sayangnya. Rama memang bukan tipikal pria semacam Raffano atau Gavin yang mudah mengumbar senyuman, dan untuk itu, Lisa tidak terlalu mempermasalahkan. Rama mendekatkan wajahnya untuk mengecup kedua pelupuk mata isterinya.

"Tenang, ya? Sekarang kamu nggak sendirian lagi. Kalau kamu merasa takut, atau merasa cemas, kamu harus cerita. Kamu nggak sendirian lagi sekarang, kamu sudah jadi Nyonya Rajendra. Yang mana artinya hal-hal semacam ini bukan lagi masalah untuk kamu. Paham?"

Lisa menganggukkan kepalanya dua kali, pelan. Namun, air matanya masih saja menitik. Membuat Rama mau tidak mau mengumpat dalam hati. Mengumpati mertuanya yang begitu tega merusak mental isterinya. Lisa baru saja melahirkan, Dokter bilang hormon Ibu yang baru melahirkan itu belum sepenuhnya baik. Lisa seharusnya tenang, fokus untuk kesehatannya dan juga anaknya, bukan malah menangisi Ibunya yang sama sekali tidak pantas untuk ditangisi. Bukan malah dibuat tertekan seperti ini.

Lila itu benar-benar!

"T-tapi aku ... aku nggak durhaka, kan?"

"Enggak, Sayang. Kamu benar. Kamu sudah melakukan hal yang benar. Ibu pantas mendapatkan itu, kamu nggak salah karena dengan begitu Ibu akan lebih mengerti jika kamu adalah anaknya. Buah hatinya, bukan budaknya. Kamu mengerti?"

SIBLING'STempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang