93. Hilang

629 82 12
                                    

Bang, Ciara takut.
-Ciara

•••

"Kalian ke Rumah Sakit tanpa ngajak gue?"

Pertanyaan Ciara terdengar seperti kuis bermata dua. Jawab A salah, jawab B sama saja. Jonathan dan Kashi bergeming di tempatnya. Keduanya menyadari jika Ciara sedang melotot tak habis pikir pada mereka. Namun, mau bagaimana? Kashi kelewat khawatir, pun Jonathan merasa tidak ada salahnya pergi ke sana. Salahnya, mereka pergi tanpa saling berdiskusi dengan Ciara yang notabenenya adalah salah satu orang yang menemukan Nita.

"Kita sengaja, Ra. Soalnya gue pikir setelah gue ke sana, gue bisa update info tentang Nita ke lo. Gue nggak kepikiran buat diskusi sebelum pergi, sorry."

Tidak ada yang bisa Ciara lakukan selain menarik napas kuat-kuat, membiarkan setiap partikel oksigen memasuki rongga parunya. Itu cukup membantu otaknya untuk tenang. Bernapas dengan baik sangat diperlukan otak dalam situasi apapun.

Ciara ingin marah, tapi dia sendiri tahu bahwa amarahnya tidak akan mengubah apapun, selain memperkeruh suasana. Dia ingat ucapan Andi di masa lampau yang berkata, "Tidak semua hal bisa dihadapi dengan amarah meski situasi itu sendiri membuat kita marah." Di titik inilah Ciara berdiri, dengan kondisi hati dan pikiran yang tidak sinkron hingga ingin membuatnya marah, tapi ditekan sebuah realita jika marah bukan satu-satunya cara.

Gadis itu menghela napas setelah merasa sedikit lebih tenang. "Terus gimana keadaan Nita sekarang?"

Jonathan dan Kashi nampak bergeming sejenak, mencoba mencerna apa yang tengah terjadi sebelum akhirnya menyadari bahwa Ciara sedang bertanya, dengan cara baik-baik.

"Dia masih belum sadar, Suster yang tadi di sana bilang kalau Nita kehabisan banyak darah, tapi aman, kok. Nita dapat donor."

Kashi mengangguk menimpali laporan Jonathan. Andi yang sedari tadi mengamati pembahasan ketiga pemuda yang lebih muda darinya kini ikut menitikkan fokus. "Setidaknya Nita dapat pertolongan. Syukurlah jika dia baik-baik saja."

Jonathan ikut mengangguk mengamini ucapan abangnya sebelum menyentuh lutut Ciara guna menarik perhatian. Bungsu Rajendra menatap abangnya sendu. Terlihat jelas bahwa adiknya belum merasa tenang sebelum kabar Nita telah sadarkan diri terdengar olehnya. "Kita do'akan yang terbaik buat Nita, ya, Dek?"

Kali ini Ciara mengangguk.

Jonathan lantas bangkit berdiri dan menarik tangan adiknya. "Udah malem, tidur, yuk. Biar besok pagi kita ketemu Nita."

"Jangan tidur bareng-bareng, Jo." Suara Andi menginterupsi. Jonathan dibuat berdecih tak suka.

"Apaan? Orang Ciara-nya nggak nolak," katanya sewot.

"Kalo dibilangin 'tuh nurut, bukan ngelawan."

"Nggak ada yang ngelawan, Bang. Gue 'kan lagi pengen berbagi energi sama adek gue. Nggak apa-apa, kali." Sekali lagi Jonathan protes. Andi dibuat geram dengan sikap Jonathan yang memang sangat sulit diatur itu.

"Yaudah, sana, nanti Abang nyusul bawain susu."

"Lah? Ngapain?"

"Kita bertiga."

"Nggak adil banget! Dari tadi Ciara sama lo, gue nggak ganggu, tuh. Kenapa pas giliran gue, lo ribet banget, sih, Bang?"

"Bertiga atau enggak sama sekali?" Andi tidak peduli. Kedua tungkainya melangkah ke arah dapur hendak membuat susu hangat untuk Ciara. Namun, sebelum langkahnya benar-benar menghilang di balik pintu, dia berbalik menghadap adik-adiknya. "Antar Kashi pulang dulu, sana."

SIBLING'STempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang