Gemercik air memekakkan telinga di sore hari. Jalanan lengang di depan sana mulai dipadati kerumunan kendaraan bising. Awan gelap seperti payung yang justru menumpah ruahkan semua isinya. Dedauan hijau berhamburan, kalah oleh derasnya hujan sore ini. Muda mudi yang dengan asik bercengkrama seolah hujan tak jadi masalah.
Gadis berambut lurus sebahu tak henti-hentinya merutuki dirinya yang bodoh karena meninggalkan payungnya di perpustakaan kota. Jarinya mengetuk-ngetuk lututnya. Kacamata bulat yang sedikit berembun memancarkan kilatan cahaya lampu di depan sana.
Aluna Sienna Cassandra. Mahasiswi Sastra Inggris semester 6. Semester yang katanya adalah gudang pusing karena tugas-tugas yang tak berkesudahan. Tangan kirinya mendekap sebuah buku tebal yang terlihat sedikit usang karena termakan waktu. Matanya bulat hitam legam, seperti bulan yang berpancar cahayanya. Anak rambut berterbangan ke belakang, menyapa ceruk lehernya yang berhiaskan kalung berbandul bulan.
Lagi-lagi, bulan adalah Luna.
drrrttt...
Esther is calling...
Dengan tarikan nafas panjang, Luna mengangkat telpon dari sahabatnya.
"Hallo, Ther?"
"Lo dimana anjir? Hujan gini belum balik?"
"Kejebak hujan. Lupa bawa payung," alibinya. Mana mungkin Luna bilang kalau payung miliknya tertinggal di perpustakaan kota. Yang ada sahabatnya itu akan mencercanya dengan kata-kata penuh umpatan.
"Gue susul deh. Sekalian beli makan. Lo dimana?"
"Halte depan toko emas, deket pintu kampus barat."
"Oh, oke, gue otw."
Setelahnya panggilan terputus. Ingatannya menerawang jauh saat pertama kali dirinya bertemu mahasiswi Ilmu Gizi, satu angkatan dengan Luna. Dipertemukan oleh takdir, seperti magnet yang menyatu karena kutub-kutubnya. Berawal dari salah tas hingga berbagi kamar kos. Entahlah terlalu random saat awal perkenalan mereka berdua.
Tiba-tiba, atensi Luna beralih dari nostalgia random ke pemuda berhoodie abu yang tengah mengibas-ibaskan lengannya karena basah air hujan. Kacamata bulatnya bergelimang bulir-bulir air. Bibirnya berdecak beberapa kali. Sesaat, iris Luna terkunci oleh pemuda itu. Rahang tegas berpadu dengan hidung runcing. Dalam satu lirikan, pemuda itu mampu membuat Luna salah tingkah. Kepalanya mencari-cari objek apapun untuk mengalihkan fokusnya.
Luna kira, pemuda itu akan menegurnya karena memeprhatikan dirinya. Ternyata tidak, pemuda itu terlihat acuh. Memainkan ponselnya seolah tak terusik oleh alunan klakson yang membuat gendang telinga berdengung nyeri.
Tin Tin!
Oh, itu Esther. Luna mengangkat ranselnya di atas kepala, menjadikan itu sebagai payung sementaranya. Kaki jenjangnya berlari kecil menuju trotoar sebelah halte kemudian lenyap ditelan pintu mobil.
Baru patatnya menemukan posisi yang pas, suara Esther mengalihkan kenyamanannya.
"Loh, itu Bang Wisnu?" Tanyanya. Luna melongok ke arah halte. Bang Wisnu? Pemuda itu?
"Siapa?"
"Bang Wisnu. Temennya Langit, masa lo nggak tau, Lun?"
"Nggak."
Helaan nafas kasar terdengar dari bibir wanita berhijab satu ini. Cengiran menyebalkan muncul di bibir Luna, seolah baru saja dirinya melakukan suatu kejahilan.
"Elo tuh apa yang kenal? Semua aja nggak lo kenalin, hidup di goa mulu sih. Kebanyakan bergaul sama Medusa, Minotaurus, Voldemort, atau apa lah itu," cecar Esther yang didengarkan saksama oleh Luna. Tangannya hanya menari-nari di dalam tasnya, mencari sesuatu yang tadi ia beli di toko aksesoris.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEMESTA [end]
FanfictionSemesta Persahabatan, Cinta, dan Cita-Cita. Tentang bagaimana semesta mempertemukan empat serangkai yang orang sebut sebagai sahabat. Dan tentang bagaimana bumbu-bumbu cinta yang empat serangkai itu rasakan. Hingga tentang bagaimana cara semesta men...