[8.3] Kenalan Baru

161 28 0
                                        

Sabtu adalah waktunya bermalas-malasan. Gemercik air dari selang yang mengucur membasahi tanaman. Awan-awan putih dengan riang menemani langit yang tenang. Kicauan burung tetangga begitu mengusik telinga, pun dengan suara tawa dari ruang tengah. Kamar bernuansa coklat ini tak banyak menunjukkan tanda-tanda adanya kehidupan. Laptop yang tertutup rapat, kursi yang entah berpindah hingga ujung ruangan, sampai bungkus permen yang tergeletak disebelah kaki meja. Baju-baju kotor tersumpal mengenaskan dikeranjang, menanti kapan kiranya dirinya dicuci. Debu-debu halus berterbangan dengan anggunnya.

Langit Erlangga masih bersenang-senang di alam mimpi. Kasur yang semula rapi, kini sudah tak berbentuk rupanya. Dipadu dengan kolor abu-abu dan baju putih, Langit tengkurap diatas kasur. Sinar matahari yang memaksa masuk ke dalam gorden sama sekali tidak mengusik tidur nyenyaknya. Langit habis begadang semalam. Laki-laki itu ngebut mengerjakan tugas linguistik yang begitu menguras tenaga dan pikirannya. Setelah sholat subuh, mata pemuda itu sudah tidak punya tenaga untuk sekedar menyapa pagi.

"Lang!"

Langit bergeming. Merutuki siapapun yang menganggu waktu tidurnya. Walaupun terusik, Langit tak bergerak sedikitpun. Dirinya enggan membuang tenaga untuk mengeluarkan suaranya hari ini.

"Langit!"

Lagi-lagi suara ketukan ia abaikan. Matanya masih berat. Badannya remuk dan dirinya terlalu malas.

"Gue masuk, ya?"

Suara pintu terbuka. Menampilkan sosok Surya yang menggeleng prihatin memperhatikan kondisi mengenaskan Langit. Kakinya melangkag ke meja belajar, mencari-cari hardisk yang lusa dipinjam Langit. "Mau apa lo?"

Surya menoleh. Langit sudah membuka matanya sedikit, terlihat jelas kantung mata yang sudah mirip seperti panda. "Ambil hardisk. Ngalong sampai jam berapa lo? Gila, itu mata kayak habis ditonjokin."

"Jam 4 subuh. Hari ini siapa aja yang libur?" tanya Langit yang sepenuhnya sudah terbangun. Laki-laki mancung itu duduk bersandar dikasurnya. Masih berusaha mengumpulkan nyawa yang sempat menghilang.

"Semuanya," jawaban Surya membuat Langit mengangguk-angguk.

"Gacoan kuy? Gue pengen asupan energi berupa rasa pedas yang membuat lambung panas."

Surya tertawa, bisa-bisanya Langit berkata seperti itu ketika dirinya masih setengah sadar. Walaupun bagi Langit sudah bangun. Tapi kenampakannya tidak demikian, menurut Surya itu malah seperti orang mabok yang masih setengah sadar. Suara tawa di dapur memecah lamunan Langit.

"Mereka kenapa? Brisik banget gue denger," ujar Langit. Surya sudah beralih pada kursi belajar Langit. Mengutak-atik ponselnya dalam diam.

"Mau nyobain buat brownies. Gue mau bantu gak boleh, yaudah gue kesini aja," kata Surya lempeng. Langit mengendus sebal. Secara tidak langsung, Surya bermaksud sengaja mengganggu tidurnya karena gak dibolehin bantu bikin brownies oleh Luna dan Esther.

"Lo ganggu tidur gue, bangsat!" sewot Langit sambil mendelik galak yang dihadiahi kekehan dari Surya. Matanya masih fokus pada gawainya, sesekali berdecak ketika ponselnya berdering singkat. Hal itu terus terjadi berulang-ulang, sampai Langit mau tak mau kepo.

Langit mencondongkan tubuhnya ke arah Surya. Mencoba mengintip, ada apa gerangan yang membuat Bara Surya Wardoyo berdecak berkali-kali. "Lo ngapain? Chattingan sama siapa? Gebetan yang mana lagi?" pertanyaan beruntun dari Langit membuat Surya menjauhkan dirinya.

"Bukan gebetan."

"Terus siapa? Gak mungkin bokap lo."

"Pacar gue."

Mulut Langit menganga, matanya melebar saking kagetnya. Surya melirik malas. Respon Langit terlalu berlebihan baginya. Tapi bagi Langit, ini benar-benar mengejutkan. Oke, katakan kalau Surya memang doyan mengantar jemput cewek-cewek di kampus. Tapi untuk perasaan, Surya adalah cowok paling tulus yang pernah Langit temui. Sisi playboy sebenarnya adalah cuma cover aja. Deep inside dari seorang Surya itu sangat tulus dan setia. Langit jadi penasaran, siapa perempuan yang bisa bikin Surya uring-uringan gini.

SEMESTA [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang