[14.2] Ikhlas itu Sulit

166 31 14
                                    

Jam dinding menunjukkan pukul 2 dini hari. Dentingan demi dentingan menuju fajar bersamaan dengan suara rintikan hujan di luar sana. Desember memang waktunya untuk musim penghujan menyapa, menggantikan musim panas dengan matahari terik yang begitu membakar kulit. Laptop putih dengan aneka macam stiker berdesing pelan, kertas-kertas berisi rentetan kalimat berserakan, dan seongok pisang goreng yang sudah lembek di samping cangkir teh yang tinggal setengah. Deritan kursi bertemu lantai membuat siapapun geli mendengarnya. Gadis itu merenggangkan otot-ototnya. Rambut panjang kecoklatan begitu indah tergerai. Training abu-abu dengan karet yang sudah kedodoran menjadi outfit yang nyaman untuk sang gadis pakai malam ini.

Si ambis Esther, rela begadang semalaman suntuk demi menyelesaikan skripsi bab 4 yang seharusnya masih bisa besok dirinya kerjakan. Esther terlalu berambisi untuk menyelesaikan skripsi lebih awal. Dibanding mahasiswa lainnya, bisa dibilang progres Esther sangat pesat. Bahkan, Daren yang notabenenya si ambis number one pun masih tertinggal di bab 2. Sesekali Esther mencatat poin penting dari modul-modul dan buku-buku tebal tentang pergizian. Matanya semakin berat ketika Esther selesai menyelesaikan kalimat terakhir dengan sempurna. Tubuhnya ambruk di kasur empuk bersprei bintang-bintang miliknya.

Tak tahu apa yang harus diceritakan tentang Esther yang masih terlelap di kasurnya sampai jam weker berbunyi pukul 5 pagi. Dengan langkah gontai, Esther berjalan menuju kamar mandi dan mengambil wudhu. Menunaikan kewajibannya sebagai seorang muslimah, lalu kembali berkutat dengan laptopnya sampai pukul 7 pagi. Setelah mandi dan bersiap menuju kampus kebanggaannya. Di bawah, ada Luna dan Surya yang sedang berebut sandwich buatan Langit.

"Good morning, Esther! Tadi malam sampai jam berapa?" sapa Luna ceria. Sejenak melupakan sandwich yang barusan habis dilahap Surya.

Esther terkekeh singkat, "Jam 2 kayaknya. Lang, gue mau dong. Ekstra tomat ya, oke?" Pesanan Esther langsung diacungi jempol oleh kang masak pagi ini. Langit dengan lihainya memanggang roti di teflon dan mengisinya dengan beraneka ragam sayur serta daging iris tipis.

"Jangan ih, ini punya akuuuu. Kamu kan udah makan dua, Suryaaaa. Gak boleh gitu ih. LANGITTTTT, TOLONG INI ADA RAKSASA MAU MENCURI SANDWICH LUNAAAAA!!!!" teriak Luna heboh sambil berlari menjauh dari Surya dengan membawa sandwich ditangannya. Sontak Esther tertawa terbahak-bahak melihat tingkah dua housematenya yang semakin kesini malah semakin aneh-aneh kelakuannya.

Hari ini Esther memakai pashmina coklat dengan gamis hitam, ditambah totebag kanvas putih kembaran dengan Luna. "Suryaaa, udah ah, biarin Luna makan dulu. Lo duduk sini sebelah gue!"

Surya menuruti perkataan Esther. Di pandangan Esther hari ini, Surya, Langit, dan juga Luna terlihat lebih hidup setelah sesuatu menimpa mereka beberapa minggu kebelakang. Langit yang kehilangan ayahnya, Surya yang putus dengan mantannya, dan Luna yang stress setelah magang. Di mata Esther, mereka bertiga sudah kembali hidup setelah huru-hara duniawi yang menguras air mata. Dadanya merasa plong ketika melihat canda tawa itu kembali mewarnai rumah ini.

"Nih, spesial sandwich buat mami Esther kita tercinta. Gue tambahin sosis biar lo makin berenergi," kata Langit semangat sambil menaruh sandwich buatannya di piring. "Udah gue jampi-jampi nih, ada mantra keberuntungan buat lo. Sekaligus doa supaya skripsi bab 4 lo cuma revisi sedikit, syukur-syukur sih gak pakai revisi. Dah, sana makan!" lanjut Langit semakin mengada-ada.

"Bisa aja lo, Pinokio! Thanks btw," Esther melahap sandwich spesial itu dengan sumringah. Luna kembali duduk di depan Esther, masih dengan tatapan curiga pada Surya kalau-kalau pemuda itu akan mengambil sandwich miliknya lagi. Langit memiting kepala Luna pelan, "Udah dimakan, gak usah lihatin Surya nanti lo naksir!"

"Enak aja! Nggak mau naksir sama Surya!"

"Idih, siapa juga yang mau ditaksir sama lo!"

Esther membekap mulut Surya dengan selada, "Diam deh! Gak rampung-rampung kalau kalian berantem terus."

SEMESTA [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang