[19.2] Air dan Minyak

119 28 8
                                    

Nasib sebagai anak rantau itu harus pulang sebelum jadwal kuliah di mulai. Apalagi untuk yang rumahnya jauh dari kampus, harus banyak yang dipersiapkan. Rumah dua lantai terlihat sepi, hanya ada dua motor dan satu mobil saja. Keadaan dalam rumah pun tak kalah sepinya, meja makan yang biasanya diisi dengan celotehan dan pertengkaran pun hari ini masih sepi. Tak ada tanda-tanda kehidupan di tempat ini.

Di lantai dua, pintu kamar dengan papan nama berwarna pink terbuka lebar. Sang empunya kamar sibuk memegangi kursi yang dipijak seorang laki-laki. Yep, Surya sedang membantu Luna memasang lampu baru di kamarnya setelah semalam lampu kamarnya mati. Luna datang kemarin sore, sedangkan Surya siangnya. Walaupun rumah Surya hanya ditempuh selama dua sampai tiga jam, tapi laki-laki itu memutuskan untuk kembali bersamaan dengan Luna. Surya juga yang menjemput Luna di stasiun karena gadis itu mana berani pulang naik motor sampai rumahnya.

"Coba ceklekin," suruh Surya pada Luna.

"Ya kamu turun dulu. Nanti kalau aku lepas jalan kursinya," kata Luna dari bawah. Kursi yang Luna maksud adalah kursi yang beroda, karena Luna tak punya kursi lain selain kursi belajarnya itu.

Surya berdecak dan bersiap untuk turun. Sebelum kursi belajar pink itu sengaja digoyang oleh oknum menggemaskan. Refleks tangan Surya bertumpu pada pundak Luna, sedangkan gadis itu malah terkikik geli melihat ekspresi panik Surya.

"Lun, lo kalau mau bunuh gue gak gini caranya. Buruan ceklekin!"

"Iya-iyaaa," katanya masih dengan sisa tawa yang belum mereda. Telunjuknya menekan saklar di sebelah pintu. Cahaya putih terang menghiasi kamar Luna.

Laki-laki itu menghembuskan nafas lega setelah melihat lampu itu terpasang sempurna. Membereskan bungkus wadah lampu dan plastik kresek.

"Jalan-jalan, yuk? Bosen banget gue di rumah gak ada orang," ucap Surya setelah membuang sampah di depan kamar Luna.

"Ayoooo! Mau kemana tapi?"

Alis Surya bertaut, "Kalau dipikir-pikir, gue belum pernah nemenin lo ke Gramed deh. Lo mau kesana? Sekalian muter-muter."

"Yaudah sana keluar dulu. Aku mau ganti baju," usir Luna. Tangan mungilnya mendorong tubuh Surya menjauh dari kamarnya.

Laki-laki itu turun menuju kamarnya. Mengganti kaos dan celananya, tak lupa menyisir rambut yang sudah panjang. Khas mahasiswa semester akhir yang tak sempat potong saking sibuknya mengejar deadline skripsi. Setelah di rasa ganteng, Surya menunggu Luna di ruang tengah. Jarinya menari-nari di papan ketik ponselnya. Bertukar pesan bersama teman-temannya dan juga dengan gadis yang saat ini masih di kotanya.

"Surya mau pakai motor apa?"

Oh iya! Hanya ada dua motor, motor besar milik Surya atau motor pink milik Luna. Kalau Surya naik motor Luna pasti tidak akan mau, tapi Luna juga tidak akan mau kalau naik si Bleki. Tuh kan, belum juga pergi sudah dipusingkan masalah kendaraan.

"Bleki mau gak? Demi Allah, gak mau gue, Lun, naik motor pink lo. Kaki gue kesemutan saking nekuknya," Surya memelas.

Bibir Luna mengerucut, "Naik mobil Esther aja kalau gitu."

Ide Luna langsung diangguki Surya. Dirinya mengambil kunci mobil Esther di laci bawah televisi. Lalu keduanya keluar. Luna mengunci pintu dan membuka gerbang lebar-lebar, sedangkan Surya masih sibuk memanasi mesin mobil Esther yang berhari-hari tak dipakai. Pukul 11 siang yang terik ini, Luna dan Surya memutuskan untuk ke Gramedia terlebih dahulu. Lagu yang terputar di radio, siulan santai yang sesuai dengan irama musik, dan desingan mobil yang melaju. Luna sibuk berkutat dengan ponselnya, mengacuhkan Surya yang juga mengemudi dengan santai.

"Udahan kek HP-nya, gue dicuekin mulu daritadi," sungut Surya mencoba merebut handphone milik Luna.

"Ish sebentar. Aku tuh lagi chat sama teman-teman masalah toga sama kebaya. Katanya mau pada seragaman gitu, tapi gak tahu deh gimana nanti," jelas Luna. Sebuah O panjang dari bibir Surya membuat Luna mengendus malas.

SEMESTA [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang