[12.2] Masih Holiday

186 33 26
                                    

Masih dengan hembusan angin pantai. Lantunan adzan zhuhur berkumandang dengan agung. Orang-orang menghentikan pembicaraannya. Menyimak setiap seruan panggilan dari sang pencipta dengan tenang. Ombak pun seperti mengerti, deburannya begitu tenang. Beberapa diantara mereka langsung melantunkan doa selepas adzan, beberapa lagi menatap dengan penuh kagum.

"Barusan doa apa?" tanya Erlan yang memang seorang Nasrani. Esther terkekeh sebentar, "Doa selepas adzan."

"Kok Surya jarang kayak gitu kalau lagi sama gue?"

Esther mengedikkan bahunya, "Mungkin karena gue sama Langit terbiasa baca, jadi ya dia baca kalau lagi bareng kita aja."

Laki-laki berdarah Tionghoa itu mangut-mangut. Erlan memang bisa menebak jika Langit dan Esther berasal dari keluarga yang punya pondasi kuat. Belum pernah sekalipun Erlan melihat Langit sengaja meninggalkan sholatnya. Selain berpengaruh baik tentang kehidupan, rupanya anak-anak Semesta juga berpengaruh baik dalam hal ibadah. Pantas saja, Surya mempertahankan dirinya di rumah itu. Sekarang Erlan paham apa yang membuat Surya betah disana.

"Ayo ke masjid dulu. Ini yang cewek siapa yang masih halangan?" tanya Langit yang sudah siap mengeluarkan sandal jepit swallow biru miliknya. Sandal khas bapak-bapak.

"Nggak ada. Kita lagi gak tanggal merah semua," jawab Esther acuh.

"Lah, masa berdua doang yang jagain? Gantian aja gimana sholatnya?" Surya menyarankan. Tapi Tasya menggeleng pelan. "Nggak usah. Kalian sholat aja gak papa. Berdua doang gak masalah kan, Lan?"

Erlan mengangguk, "Gue sih santuy. Gak usah dipikir. Udah buruan sana sholat."

Mereka berenam akhirnya berjalan menuju surau sederhana dekat parkiran mobil tadi. Luna, Esther, dan Nadhira memutuskan untuk meminjam mukena yang disediakan di masjid. Anak-anak setempat menyapa mereka dengan riang saat keenamnya memasuki area masjid. Beberapa diantara mereka sudah siap dengan sarung dan peci. Senyuman ramah itu begitu menyejukkan hati. Langit bahkan sudah berbincang seru dengan salah satu anak berkulit sawo matang di tempat wudhu khusus laki-laki. Sama seperti Langit, Nadhira pun juga sudah basa-basi singkat dengan ibu-ibu yang mengaku penjual makanan di warung-warung kecil dekat pantai.

"Biasanya mah sampai jam 6 sore baru di tutup. Tapi kadang sampai isya gitu masih ada yang suka duduk-duduk. Ya kita sebagai warga sini gak masalah. Toh juga ini pantai tempat umum," kata si ibu berbadan gempal dengan rambut yang mulai memutih. Nadhira mengangguk-angguk singkat, bergumam O panjang sebagai respon.

"Kenapa belum ada tiket masuk ya, Bu? Padahal lumayan loh, bisa untuk prasarana masyarakat sini," ujar Esther yang juga ikut nimbrung bersama ibu tadi. Si ibu mencebik kasar, "Udah diajuin ke dinas pariwisata kota, neng. Belum ada tanggapan sampai sekarang. Ya kita mah bisa apa selain nunggu."

Ketiganya bersama sang ibu kembali dengan aktivitas masing-masing. Memasuki masjid sederhana yang diisi beberapa pengunjung dan warga lokal. Enam anak manusia dengan keyakinan yang sama sedang menunaikan kewajiban mereka menyembah sang maha kuasa. Di pinggir pantai, Erlan sudah bosan bermain ponselnya. Menatap Tasya yang juga sama-sama larut dalam gawainya. Entah apa yang membuat Tasya senyum-senyum sendiri, Erlan memutuskan untuk mengambil kaleng Pringles dan memakannya. Matanya menyusuri setiap inci pantai di hadapannya. Siang bolong begini masih banyak orang-orang yang nekat main air, kalau Erlan sih ogah. Nanti kulitnya jadi merah-merah karena terpanggang sinar matahari.

Matahari menyapa dengan riang, membuat sebagian orang berusaha menghalau sinar yang menusuk mata. Luna menaruh tangannya diatas jidat, matanya sudah menyipit karena silau. Pasir-pasir berhamburan, membuat pusaran kecil di pinggir pantai bersama angin pantai yang panas. Wisnu merangkul Luna, menutupi bagian wajahnya dengan telapak tangan besar miliknya.

SEMESTA [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang