[5.0] Malam Minggu

225 33 13
                                    

Semakin dewasa, waktu untuk berkumpul semakin menipis. Bukan hanya waktu bersama keluarga tapi bersama housemate pun sama. Urusan, tugas, dan pekerjaan yang membuat kepala nyaris pecah membuat keempatnya jarang menghabiskan weekend bersama kalau bukan karena kewajiban dua minggu sekali.

Malam ini, bulan menampakkan sinar indahnya ditemani ribuan bintang yang siap memanjakan mata dengan kilau temaram. Angin sejuk menjadi selimut. Lalu lalang berbagai macam kendaraan tak luput dari penglihatan. Kepulan asap knalpot yang samar-samar terlihat. Pekikan orang-orang yang ramai berhaha-hihi. Dan, decitan meja besi yang bergoyang akibat gosokan dari kain lap seorang pemuda. Padat tapi tenang.

Surya menghentikan kegiatan memotretnya. Mengalungkan kamera Canon dileher dan membuka penutup botol, kemudian menegaknya. Langit melakukan hal yang sama, memasukkan kameranya kedalam tas. Esther dan Luna duduk di salah satu cafe yang ada di Kota Lama. Mengamati Surya dan Langit yang sedari tadi memotret setiap bagian yang dirasa unik untuk diabadikan dari kejauhan. Keduanya sibuk melihat dan sesekali mengomentari apa yang ada disekitar. Barista tampan yang sedaritadi curi-curi pandang, pasangan kekasih yang mengabaikan bisingnya dunia, hingga kakek nenek dengan gaya nyentrik sedang duduk berdua di bangku depan cafe.

"Udahan fotonya?" tanya Esther begitu Surya mendudukkan diri disebelahnya. Surya hanya mengangguk sebagai jawaban. Sedetik kemudian, meraih kamera dan entahlah sedang mengutak-atik apa.

"Rame banget ya, perasaan gue kesini ga rame-rame amat," keluh Langit.

"Weekend, pak," jawab Luna acuh. Mencomot kentang goreng dan memasukkan ke dalam mulutnya.

"Lo berdua gak mau foto? Mumpung bawa kamera ini," Surya menatap dua gadis yang menggeleng bersamaan. Lantas mencebikkan bibir dengan kasar.

"Anjir, bocor parah ini mah fotonya. Jelek banget dah," cerocos Langit.

"Mana sih?"

Luna mendekat ke arah Langit, mencoba melihat objek foto yang Langit bidik dengan lensa kameranya. Esther hanya mengamati. Tak ingin tahu menahu tentang celetukan Langit.

"Laper gue. Pesen makan kek, apa kek," ujar Surya yang sudah bersiap menuju meja pemesanan. Tapi urung, karena Esther menahan lengan pemuda itu.

"Mending makannya ntar di Pujasera aja. Gak kenyang lo kalo makan disini."

Akhirnya, Surya menuruti apa kata Esther. Langit pun sependapat dengannya karena makan di Pujasera lebih merakyat dan porsinya lebih manusiawi daripada cafe-cafe aesthetic di kawasan Kota Lama ini.

Luna mengedarkan pandangannya, mencari objek apapun untuk diamati. Tiga manusia lain sedang sibuk mengobrolkan entah apa, sembari sesekali saling memaki. Semakin malam, suasana Kota Lama semakin ramai. Anak muda belasan tahun mendominasi tempat wisata yang katanya penuh akan pesona aesthetic-nya. Berbagai macam jajanan tersedia disepanjang jalan. Netranya mengamati para penjual yang tengah sibuk lantaran bergelut dengan pesanan-pesanan manusia malam ini.

"Woy! Ngalamun mulu, mau ikut gak?" Langit mendorong pelan tangan Luna yang ia jadikan tumpuan. Membuat si gadis berkacamata itu oleng. Hampir saja siku Luna menyentuh lututnya sendiri.

"Ck, biasaan ah Luna. Orang lagi ngobrol bukannya ikutan, malah ngalamun," seru Surya kesal.

"Aku gak ngalamun. Ikut apa? Kemana?"

Esther menghembuskan nafas, "Minggu depan ke pameran. Lo belum pernah ikut, tahun lalu gue sendirian. Ikut, ya, Lun? Please," kata Esther dengan tatapan penuh harap. Pasalnya, semua orang paham jika Luna anti berkerumun bersama orang asing. Makanya, mereka bertiga juga jarang mengajak Luna karena pasti ditolak mentah-mentah.

SEMESTA [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang