[3.3] Langit dan Hari Rabu

223 30 22
                                    

Hari Rabu, menjadi hari yang menguras tenaga. Kuliah pagi adalah hal yang paling Langit hindari. Semacam pantangan seorang Langit bangun pagi untuk kuliah. Mencoba bergulat bersama rasa malas yang merayap. Kicauan burung semacam suara gaib yang Langit hiraukan. Osengan dari wajan pun tak mengusik inderanya. Dengan seribu niat yang susah payah ia kumpulkan, kini tubuhnya telah ambruk di kursi dapur. Mengamati Esther dan Surya yang sibuk berperang dengan alat dapur, Luna yang diam membaca buku bersama susu plain kesukaannya.

Pagi ini matahari sedang gembira. Awan-awan bergerumul layaknya kapas yang dilem menjadi bentuk yang unik. Pukul 8 pagi, terasa seperti pukul 12 siang. Langit menguap, menggaruk tengkuknya, dan bergelayut dalam lamunan.

"Lo udah mandi belum, sih? Kucel amat," teguran Esther memaksa Langit untuk kembali ke alam nyata. Memandang wajah teduh dihadapannya dengan balutan hijab rapih.

"Udah."

Surya menoyor kepala Langit, pelan. Sang empunya hanya meringis, lalu matanya nyalang menatap Surya yang sedang menampilkan deretan gigi rapihnya.

"Nggak usah toyor-toyor. Udah ganteng nih gue. Berantakin rambut lo ah," dumel Langit sembari merapihkan kembali rambut cepaknya.

"Halah, paling juga nggak sisiran," Luna menyahut. Mencibir Langit dengan perkataan yang mengandung fakta.

"Enak aja! Hari ini gue sisiran!"

Suara bel rumah menghentikan aktivitas bertengkar mereka. Luna mewakili mereka untuk melihat siapa yang datang. Terdengar perbincangan kecil di depan sana. Tapi, mereka bertiga terlalu malas beranjak dari singgasana. Membiarkan Luna mengurusi tamu yang entah siapa.

"Nih."

Dihadapan Langit tergeletak sebuah kardus yang terbungkus rapih. Nama pengirim terpampang jelas diatas kardus. Tangannya merambah, mencoba membuka kardus dengan bermodalkan gunting. Perlahan senyumannya terbit. Senyum secerah matahari itu bertengger manis tak kunjung hilang.

"Apa tuh?" tanya Surya yang kepo.

"Lego hehehe."

Jawaban Langit sontak membuat Esther dan Luna ikut mendekat. Benar saja, Lego dengan ukuran sedang menanti untuk dirakit.

"Sejak kapan lo doyan ngerakit? Suruh benerin figura aja lo ogah-ogahan," sungut Esther.

"Ya, biarin sih, kan coba-coba."

Langit dan coba-coba andalannya. Surya sangsi dengan pemuda itu. Membayangkan nasib lego itu jika Langit sudah bosan. Menggeletakan dan menelantarkan begitu saja. Seolah uang yang ia gunakan untuk membeli lego tak ada harganya.

"Jangan diapa-apain! Gue mau ke kampus. Samlekom!" teriakan nyaring dari Langit membuat ketiganya menggeleng.

Dengungan knalpot nyaring terdengar. Kepulan asap hitam menyeruak, membuat sang indra pencium jengah terhadapnya. Manusia-manusia yang tersumpal di bis kota. Lampu merah yang menghitung mundur, menanti bergantian dengan warna hijau. Penjual koran sedang bersusah payah menawarkan lipatan kertas berisi kabar lini masa. Hingga kibaran spanduk-spanduk partai politik yang terpajang hampir disepanjang jalan.

Mata Langit memicing, mencoba menghalau teriknya matahari pagi. Kaca helm ia naikkan. Membiarkan wajah tirusnya beradu dengan udara penuh warna. Ibukota dengan polusinya, menjadi kondisi yang pas untuk Langit jabarkan. Memberi kesan metropolitan yang semakin melekat.

Begitu kakinya sampai di kampus tercinta. Langit bergegas menuju kelas analisis. Senyum secerah bunga daisy bermekaran sepanjang koridor. Tak bisa bohong kalau Langit adalah salah satu pentolan di FIB. Humble dan ceria, gambaran seorang dengan hidung seruncing belati itu.

SEMESTA [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang