Masih di hari yang sama...
Asap knalpot mengepul tinggi. Suara bising klakson kendaraan bersahut-sahutan. Ibu-ibu yang mengomel pada anak muda dipinggir jalan. Angkutan kuning yang penuh dengan manusia berwajah lelah. Peluh yang mengalir didahi tukang becak diujung jalan. Polisi yang sigap mengatur jalannya lalu lintas. Sepertinya alampun bosan melihat kesesakan kota setiap hari. Tak mengizinkan jalanan beristirahat dari pijakan barang semenit.
Disudut kota, di warung kopi yang sedikit lusuh dengan atap asbes yang usang dimakan usia. Pilar kayu jati yang berdiri kokoh. Meja-meja dengan asbak penuh bekas nikotin. Dan, manusia-manusia yang seolah tuli akan bisingnya kota sore ini.
"Ngerjain apa sih?" tanya seorang pemuda sembari memberikan secangkir kopi susu dihadapan seorang gadis.
"Biasa. Tugas negara," jawab gadis itu acuh. Rencana awalnya adalah rapat organisasi. Sebelum akhirnya rapat itu dibatalkan dan dirinya terdampar begitu saja di warung kopi bersama laki-laki bongsor disampingnya.
Surya dan Esther, keduanya sibuk bersama laptop dihadapannya. Papan tik yang beradu bersama jari-jari begitu pelik ditelinga, seolah suara itu dapat menusuk indra pendengar. Mereka berdua tak bergeming, membiarkan orang berlalu-lalang. Menciptakan keheningan dimeja pojok nomor empat.
"Lo sering kesini?"
Surya menoleh, mengangkat satu alisnya, "Hm?"
"Lo sering kesini?" ulang Esther.
"Sering. Sama temen-temen. Langit juga," jawab Surya sambil mengangguk-angguk. Tangannya beralih meraih gawai miliknya. Membuka layar kunci, kemudian hanyut dalam kesibukan.
Keheningan tercipta. Mereka berdua tidak seperti Langit dan Luna yang akan didominasi obrolan random yang muncul dikepala. Mereka berdua cenderung sedikit lebih serius.
"Kita selalu begini ya, Sur."
Perkataan Esther membuat fokus Surya kini beralih padanya. Menatap Esther yang memandang lurus ke depan sana. Surya mencoba membaca Esther. Justru berakhir dirinya yang pusing.
"Maksudnya?"
Esther terkekeh pelan, "Diem. Kita cuma bisa diem. Nggak kayak lo sama Luna yang selalu berantem atau Langit sama Luna yang ngobrolin dunia mereka."
"Iya juga," respon Surya singkat. Esther tersenyum miris. Tak percaya akan mengungkapkan ini pada Surya.
"Ther, kita cuma lagi kehabisan topik. Kadang gue justru iri sama lo. Lo bisa ngobrol banyak hal sama Luna, apa aja, serandom apapun itu. Lo juga bisa berantem kayak bocah sama Langit. I'm just stranger."
Esther menatap lekat pemuda yang berjarak tak lebih dari satu meter darinya. Beradu dalam tatapan penuh sirat. Mencoba membaca apa yang dipikirkan oleh kedua kepala. Hingga salah satu memutus kontak mata dan memilih menatap secangkir kopi disamping laptopnya.
"Lo masih asing sama kita?" tanya Esther. Tangannya mencoba untuk tidak menepuk bahu kekar disampingnya, "Setelah hampir tiga tahun kita bareng?" lanjutnya.
"Yah, sometimes."
Esther menyeringai miris, "Cih, bukan Surya banget. Gue tahu, lo lagi banyak masalah. Tapi, please, jangan pernah anggep kita-kita asing."
"Sur, look at me! Gue udah anggep lo keluarga. Sama kayak Langit ataupun Luna," ujar Esther pelan. Mencoba membuat Surya mengerti dan membuka matanya. Laki-laki itu hanya sedang lelah.
"Kadang aneh, kita ini apa sih? Kita berempat, kadang deket banget, kadang kayak keluarga, kadang justru kayak orang asing. Bahkan lo masih sungkan gini. Kenapa sih?" Esther menatap manik mata Surya. Dalam dan menenangkan. Surya hanya mampu mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Jawaban yang akan ia lontarkan justru tertahan, menelan kembali ucapan yang ingin Surya keluarkan. Esther ada benarnya, begitu pikir Surya.

KAMU SEDANG MEMBACA
SEMESTA [end]
FanfictionSemesta Persahabatan, Cinta, dan Cita-Cita. Tentang bagaimana semesta mempertemukan empat serangkai yang orang sebut sebagai sahabat. Dan tentang bagaimana bumbu-bumbu cinta yang empat serangkai itu rasakan. Hingga tentang bagaimana cara semesta men...