[1.2] Esther

776 55 10
                                        

Dengungan suara laptop yang minta diistirahatkan membuatnya mencebik kesal. Matanya melirik malas jam yang ada dinakas. Pukul 3 sore. Sedetik kemudian, tangannya mulai menari-nari diatas keyboard laptop. Sesekali melirik modul yang ada disamping tangannya. Kertas-kertas berserakan, beberapa bungkus makanan ringan dibiarkan tergeletak mengenaskan. Secangkir teh yang menyisakan udara kosong menganggur di ujung meja.

Esther Laksita, mahasiswi Ilmu Gizi yang sedang beradu dengan puluhan kata yang tercetak pada modul. Seolah tak peduli dengan riuhnya suara hujan, Esther kembali fokus mengerjakan tugas berupa power point hasil praktikum tempo hari. Rambut panjang yang biasa ia tutup dengan hijab, kali ini dibiarkan jatuh tergerai indah. Bibirnya mengeja ulang kata demi kata dari modul.

Tok! Tok! Tok!

"Ther? Lagi ngapain?"

Ketukan di pintu kamar membuatnya berjengit kaget. Dengan gerakan cepat, Esther melompat meraih hijab instan digantungan hijab. Selangkah kemudian dilihatnya pemuda lusuh yang merupakan si pengetuk pintu.

"Kenapa?"

"Minta sampo. Punya gue habis. Males beli, hujan."

Esther mengendus malas. Lagi-lagi, kehabisan sampo atau odol atau sabun adalah tabiat buruk dari penghuni rumah ini. Entah karena memang lupa atau sengaja meminta. Dengan langkah malas, Esther menuju kamar mandi dan memberikan samponya untuk sahabat oroknya ini.

"Thanks."

Tangan Esther mencekal pergerakan pemuda itu, "Lang, Surya balik nanti. Lo yang jemput, ya?"

Pemuda itu, Langit namanya, menaikkan satu alisnya. Mendengar kata jemput membuatnya mendesah malas.

"Kenapa gue?"

"Ya masa gue?"

"Luna lah!"

Esther melotot, "Gila lo nyuruh Luna jemput Surya malem-malem? Yang ada nyasar bego!"

Kekehan pelan terdengar dari mulut mahasiswa Sastra Indonesia didepannya. Matanya hilang ditelan tawa. Gigi rapihnya memancarkan aura kegembiraan setiap kali Langit tertawa.

"Iya-iya. Oh ya, Luna belum balik? Tumben."

Cepat-cepat Esther meraih benda pipih yang tergeletak tak terurus. Tangannya mendial nomor yang sangat ia hafal siapa pemiliknya. Deringan ke empat, barulah sang empunya mengangkat telpon. Kerutan samar dan tatapan penasaran dari Langit membuat Esther mempercepat panggilan telpon bersama Luna.

"Kenapa?"

"Kejebak hujan, lupa bawa payung."

"Ya udah, lo jemput gih."

"Lo jadi orang mageran banget, heran gue. Yang agresif kek dikit," cerocos Esther yang dihadiahi tatapan jengah oleh Langit. Cowok itu mencebikkan bibir kesal seolah habis terkena wejangan maut dari ibunya.

"Gue mau mandi."

Setelahnya Langit turun ke bawah membawa sampo ditangannya. Esther menatap kepergian Langit tanpa ekspresi. Benar-benar ya, Langit memang manusia super santai. Berteman selama belasan tahun dengannya membuat Esther paham betul bagaimana sosok jakung berhidung mancung tersebut. Sudah khatam kalau kata guru ngajinya.

Kali ini pilihannya jatuh pada outer rajut yang sedikit tebal. Hembusan angin dingin menusuk-nusuk kulitnya begitu Esther membuka pintu utama menuju garasi. Motor-motor berserakan entah bagaimana ceritanya, membuat satu-satunya kendaraan beroda empat itu tak bisa bergerak karena terhimpit. Desahan kasar meluncur indah dari bibirnya. Dengan hati selapang samudera, Esther mulai menggeser-geser posisi motor-motor hingga tersusun rapih dan tidak menghambat jalan keluar.

"Buset, motor Surya berat banget," gerutunya begitu selesai memindah motor Ninja hitam berukuran setengah badannya.

Esther sempat bertemu Bude Yani, si ibu pemilik rumah yang ia dan teman-temannya tinggali. Hanya bertegur sapa dan mengatakan akan menjemput Luna. Setelahnya hanya ada dirinya di dalam mobil, ditemani gemrusuk radio yang entahlah sedang membicarakan apa. Di lampu merah dekat kota, tangannya yang mengetuk-ngetuk setiran mobil terhenti. Matanya mulai menelisik halte yang jauh di seberang sana. Mencoba memfokuskan pandangannya dari kaca mobil yang tak karuan bentuknya.

Gotcha! Esther menemukan Luna sedang duduk di halte. Dengan cepat ia melajukan mobilnya. Sebelum persimpangan, ia memberhentikan mobilnya di trotoar. Memberi kode berupa klakson pada perempuan disana.

Berbincang sebentar, lalu melanjutkan perjalanan membelah kota. Esther bahagia bisa bertemu Luna. Mungkin iya, Luna sedikit pendiam dan sibuk bersama dunianya sendiri. Tapi dibalik sifatnya itu, Luna adalah sosok sahabat yang sangat mengerti dirinya. Hal sekecil membelikan Esther pentul satu kotak dan satu buah bross bermotif kupu-kupu adalah bentuk komunikasi Luna.

Suara klakson yang bersahutan diiringi suara gemuruh petir yang memekakkan telinga menjadi backsound mereka sore ini. Dentuman musik dari pengeras suara mobil seolah lenyap tak terdengar. Kibasan jas hujan dari pengendara motor tak luput dari pengindraanya.

"Kenapa sih masih pakai jas hujan kelelawar? Udah tau kalau kena rantai bisa bahaya," celetukan random muncul dari bibir mungil wanita disebelah Esther. Luna dengan segala kerandomannya, begitu kata Surya.

"Ya nggak tau. Mungkin karena lebih simple, kalau jas hujan celana kan agak ribet. Lebih enak juga kalau untuk berdua atau bertiga."

"Padahal kalau dipakai berdua atau bertiga, orang dibelakangnya masih tetep kebasahan kakinya."

Mencoba untuk mengerti tapi tak sanggup lagi menuruti kerandoman Luna, Esther hanya mengedikkan bahunya. Bukan bermaksud mengacuhkan. Tapi jika diladeni akan terus berlanjut tanpa ujung. Dan hanya bisa dihentikan kalau ada Langit atau Surya. Sayangnya kedua orang itu sedang tidak ada disini. Maka dari itu, Esther memilih untuk menyudahinya.

Setelah bergelut dengan pikiran masing-masing dan setelah mampir membeli makan malam, akhirnya mereka berdua menapaki lantai rumah tepat setelah adzan magrib selesai berkumandang. Luna mencopot jaketnya dan menggantungnya dijemuran depan.

"LAAAANGGG, MAKAN NIH!"

Tak lama setelah teriakan Esther menggema, sosok Langit muncul dari dalam biliknya. Lebih rapih dari sebelumnya. Oh, justru semakin rapih dengan celana jeans selutut dan sweater andalannya.

"Mau kemana, Lang?" tanya Luna yang rupanya telah beres dengan urusan jemur menjemurnya.

"Jemput Surya. Udah di Whatsapp, mau sampe terminal katanya," jelas Langit sembari meneguk air dingin dari dalam kulkas.

"Makan dulu apa langsung?"

"Langsung aja deh. Makan ntar aja bareng Surya."

Langit menyambar kunci mobil yang tergeletak di atas meja makan. Kini pemuda itu melempar kemudian menangkap sendiri kunci mobil yang beberapa menit lalu baru dipacu membelah jalanan.

"Gue berangkat. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

•••

Esther Laksita

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Esther Laksita

•••

Hallo, terimakasih sudah membaca.
Semoga suka.
Salam hangat.
Tetap semangat.
Vote and comment juseyo~♡

Updates :
Terimakasih banyak buat Kotcing karena udah diizinin pakai foto Yuju yang berhijab untuk visualisasi Esther. Aaaaa THANK YOU SO MUCH~♡

SEMESTA [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang