[11.4] Yang Menyakitkan

138 32 14
                                    

Rinai hujan kembali menyapa penghuni bumi. Membasuh dedaunan yang seminggu terakhir berselimut debu. Genangan air dimana-mana, membuat siapapun berdecak malas. Gemercik air yang turun dari atap asbes, gelas kosong bekas kopi hitam, dan asbak coklat yang penuh dengan puntung rokok. Kedai kopi sederhana tak pernah bosan menyapa orang-orang yang berlalu lalang. Tempat paling nyaman untuk nongkrong dengan budget merakyat. Sangat ramah untuk kantong mahasiswa yang butuh asupan energi.

Di meja tengah, duduk sepasang kekasih yang saling beradu argumen. Surya dan Tasya, pertama kalinya mereka bertengkar. Siang ini Surya memergoki secara langsung Tasya diantar laki-laki lain. Yang membuat Surya marah bukan perihal diantar oleh siapa. Surya ingat mobil itu, Surya berusaha bertanya pada Tasya. Tapi Tasya justru marah dan menganggap kalau Surya tak percaya padanya. Urusan hati memang selucu itu.

"By, udah aku bilang berapa kali sih? Itu Christian, anaknya teman mama aku. Kita juga baru kenal, gak mungkin aneh-aneh. Kamu terlalu overthinking deh," ujar Tasya yang sekarang justru kewalahan karena Surya mendadak diam. Percayalah, manusia seperti Bara Surya kalau sudah diam itu bukan pertanda baik.

Surya melengos, menatap bulir-bulir air yang berjatuhan di luar sana. "Tapi benar kan kamu waktu itu pelukan sama dia di mobil?" tanya Surya masih dengan nada jutek. Tasya menghembuskan nafas. Padahal tadi sebelum berteduh di kedai kopi Tasya yang marah, kenapa sekarang jadi Surya yang balik marah?

"Oke, fine. Iya, aku salah. Tapi aku sama dia gak ada apa-apa, by. Please, trust me, ya? Aku capek banget habis rapat, tolong lah gak mau berantem sama kamu."

Kelewat gemas, Surya beranjak dari kursinya. Laki-laki itu memesan dua piring bubur kacang hijau dan dua cangkir susu jahe hangat. Tasya masih diam di tempatnya. Bingung harus menjelaskan seperti apa lagi kepada pacarnya yang sekarang sedang merajuk. Sejujurnya, Surya bukanlah laki-laki yang cemburuan. Tapi kali ini dirinya hanya butuh kejujuran dari Tasya, walaupun kejujuran itu membuat hatinya perih. Surya takut kehilangan Tasya karena ada laki-laki lain yang dari segi apapun jauh lebih baik darinya. Surya merasa insecure.

Surya menaruh satu mangkok dan gelas dihadapan gadisnya. Sontak Tasya keheranan dengan sifat Surya yang tiba-tiba. Mereka berdua masih saling diam. Tasya melihat Surya yang sibuk meniup bubur kacang hijau, kemudian melahapnya perlahan-lahan.

"Makan. Katanya capek. Aku gak marah, tapi lain kali bilang yang jelas biar aku ngerti."

Senyum Tasya merekah. Refleks gadis itu memeluk Surya dari samping, "Iya! Janji lain kali bilang yang jelas!"

"Nah, udah, makan dulu mumpung masih hangat. Minum juga itu susu jahenya, seger banget diminum pas hujan-hujan gini."

Tasya mengangguk-angguk, Surya mengacak rambut pacarnya gemas. Mana mungkin Surya marah pada Tasya, selama ini dirinya selalu mewajarkan apapun yang Tasya lakukan. Bisa dibilang, Surya sudah jatuh sejatuh-jatuhnya pada Tasya. Alih-alih menyantap bubur miliknya, pemuda itu justru menatap Tasya dengan senyum merekah. Gigi taringnya terlihat jelas, membuatnya semakin menawan jika dilihat dari jarak lima senti.

"Ih apa? Kok lihatin aku?" sungut Tasya yang mulai malu karena Surya terus-terusan menatapnya. Surya terkekeh dan mengalihkan pandangannya. Menyendok buburnya dan memakannya dengan perlahan.

Mereka berdua menghabiskan waktu di kedai kopi sembari menikmati semangkok bubur kacang hijau dan segelas susu jahe. Hingga hujan mulai mereda dan kini menyisakan hembusan angin yang menyejukkan. Sudah pukul 5 sore, tak terasa mereka telah disini berjam-jam karena terjebak hujan. Kucing liar mengeong-ngeong di bawah kaki Tasya, membuat gadis itu kegelian dan berusaha menyingkirkan anabul tersebut dari kakinya.

"Mau pulang sekarang? Udah terang tuh," ajak Surya yang langsung diangguki oleh Tasya.

"Kamu habis ini kemana? Pulang? Apa ke studio?"

SEMESTA [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang