Awan hitam begitu pekat untuk dilihat. Hawa dingin mulai menyapa kulit. Membelai lembut bersama dengan suara gemuruh pelan. Cuaca yang tak begitu ramah tidak membuat orang-orang berhenti menjalankan aktifitasnya. Mencari uang demi sesuap nasi, menimba ilmu demi masa depan, dan mengejar bis kota demi bertemu sang kekasih. Manusia dengan segala tujuannya, bersatu bersama alam yang kurang bersahabat hari ini.
Di ruangan yang sedikit hampa, dengan dua pasang sepatu tergeletak tak teratur. Memberi kesan singup yang membuat orang enggan berlama-lama di tempat ini. Bukan hal baru jika bangunan ini memang disebut Studio Horor. Karena memang bangunan tua dengan gaya arsitektur mirip seperti rumah pada jaman penjajahan Belanda membuat kesan angkernya terasa. Beruntungnya, ada mahasiswa-mahasiswa kreatif yang menyulap tempat ini menjadi sebuah studio. Menjadikan kesan angker sedikit hilang setelah perbaikan besar beberapa tahun lalu. Langit duduk lesehan didepan sofa usang yang sudah termakan usia. Berkutik bersama laptop dan handphone yang sesekali bergetar nyaring. Matanya fokus dengan rentetan kalimat yang harus ia serahkan pada ketua klub teater malam ini.
"Oy, serius banget lo! Ngapain sih?"
Langit sedikit terlonjak kaget ketika Erlan datang dengan menepuk keras pundaknya. Matanya terpejam, tangannya mengelus dada dengan sabar. Bibirnya komat-kamit, berusaha agar kata-kata umpatan tidak meluncur begitu saja.
"Ngerjain proposal. Asem banget lo, Lan! Kaget gue, anjir! Sana ah," usir Langit dengan sedikit menyentak. Erlan hanya terkekeh sembari berlalu menuju dapur.
"Udah kali, Lang. Lo udah ngadep laptop tiga jam," nasihat itu berasal dari bibir Wisnu yang sudah berada di Studio Horor bersama Langit sejak tadi. Oh, lebih tepatnya, Wisnu duluan yang datang lalu Langit menyusul kemari.
Wisnu mendekat ke arah Langit. Melirik sedikit sejauh mana progress proposal yang sedang mati-matian Langit kerjakan. Sesekali helaan nafas terdengar berat ketika beberapa kali Langit salah ketik dan menghapusnya, lalu mengetik kembali dengan kalimat yang benar.
"Haaahhhh, udah ah. Capek gue," Langit pada akhirnya menyerah. Menyimpan file itu dan mematikan laptopnya.
"Lang."
Langit menoleh, "Hm?"
"Luna....gimana?"
Langit semakin memiringkan badannya, menatap Wisnu dengan saksama. Tersenyum aneh dengan tatapan yang aneh pula. Wisnu yang ditatap pun sedikit kikuk.
"Lo gak salah tanya, kan?"
Wisnu menggeleng pelan.
"Luna, ya biasa aja. Ngampus, balik, ngedekem di kamar. Udah gitu aja," jelas Langit seadanya dan sebenarnya. "Naksir ya, bang?" lanjutnya.
"Nggak."
"Halah, tsundere."
Wisnu memilih menepi, bergabung bersama Erlan yang sedang menyeduh kopi instan di dapur. Langit menyeringai, membatin dalam hati, ternyata orang sekaku Wisnu dan Luna kalau naksir begitu menyenangkan untuk digoda. Tangannya beralih mengambil handphonenya. Membuka aplikasi burung gendut dan menyimak trending yang nangkring untuk dibaca. Sesekali mengetuk ikon love atau ikon retweet.
"Santai aja, temen gue gak jahat kok."
Langit menoleh, mendapati Fero bersama seorang perempuan. Dari penampilannya, perempuan itu habis lari-larian atau entahlah. Yang Langit tangkap, rambut perempuan itu sedikit berantakan. Kucirannya melepaskan beberapa anak rambutnya.
"Siapa, Fer?"
Fero dan perempuan itu menoleh. Sedikit kaget ketika mendapati Langit muncul dibalik sofa.

KAMU SEDANG MEMBACA
SEMESTA [end]
FanficSemesta Persahabatan, Cinta, dan Cita-Cita. Tentang bagaimana semesta mempertemukan empat serangkai yang orang sebut sebagai sahabat. Dan tentang bagaimana bumbu-bumbu cinta yang empat serangkai itu rasakan. Hingga tentang bagaimana cara semesta men...