[16.4] Minggu Rindu

138 30 18
                                    

Kicauan burung di Minggu pagi bersama awan biru yang sungguh cantik. Matahari tersenyum cerah di singgasananya. Cuaca yang sangat mendukung untuk menikmati hari libur dengan bahagia. Orang-orang mengayuh sepeda, beberapa lari pagi atau sekedar berjalan santai. Lalu lalang kendaraan bermotor belum padat karena ini masih pukul setengah 6 pagi. Siulan santai seorang bapak-bapak yang sedang menyiram tanaman di sebuah rumah elit, seorang satpam yang membersihkan mobil sport warna merah, dan asisten rumah tangga sibuk dengan masakannya.

Di kediaman Erlan, laki-laki bongsor dengan kaos putih lecek masih memejamkan matanya. Tak terusik sedikit pun dengan sinar matahari yang menembus melalui celah-celah gorden. Surya ketiduran di rumah Erlan tanpa mengabari orang rumah. Setelah mengajukan cuti kerja dan fokus skripsi, Surya jadi lebih sering berdiam diri di rumah Erlan. Selain karena WiFi rumah Erlan sangat kencang, disini benar-benar menenangkan. Tak ada ocehan berisik, tak ada ribut-ribut suara Langit dan Luna, tak ada omelan galak Esther, dan yang pasti Surya bisa menenangkan pikirannya disini.

"Woy! Balik sono! Langit miss call gue terus semalem. Tapi gue keburu tepar," ujar Erlan masih setengah sadar. Tangannya memijat kepalanya yang masih teramat sangat pusing setelah party tadi malam. Sudah bukan hal baru bagi Surya melihat Erlan pulang dalam keadaan mabuk. Untuk anak konglomerat sekelas Erlan, party sampai hangover adalah hal yang sangat lumrah. Tapi tak pernah sekalipun Erlan mengajak Surya untuk menapaki tempat terlarang itu. Karena Erlan menghargai agama yang dianut Surya, dirinya tak ingin menjadi teman setan yang mengajak Surya coba-coba. Erlan justru melarang Surya untuk mendekati tempat itu.

Gumaman tak jelas dari bibir Surya membuat Erlan berdecak malas. Surya si kebo yang susah bangun pagi. "Sur, Esther telfon!"

Mata Surya langsung terbuka. Buru-buru mendudukkan diri dan berdehem singkat. Meraih ponselnya yang tertera nomor Esther disana. Perlahan tapi pasti, Surya menggeser ikon hijau.

"Hallo, assal—"

"WAALAIKUMSALAM, LO KALAU MAU MINGGAT BARANG-BARANGNYA JANGAN DITINGGAL!"

Surya mengusap dadanya ketika suara cempreng Esther langsung menyapa gendang telinganya. Baru jam 6 pagi, tapi Surya sudah ingin mengumpat lantaran terlalu kaget. Kalau saja bukan Esther, sudah dipastikan orang diseberang sana sudah habis dengan segala sumpah serapah dari mulut pedas Surya.

"Hehehe, maaf, ketiduran di rumah Erlan," kata Surya sambil cengengesan walaupun Esther tak dapat melihat.

Terdengar hembusan nafas diseberang sana, "Pulang! Gak usah mampir. Lo nggak lupa kan Minggu ini jatah beres-beres?"

Mata Surya mendelik, menepuk jidatnya pelan. Benar-benar melupakan kalau seharusnya hari ini dirinya kedapatan membersihkan taman dan balkon. Dengan wajah masam, Surya pun menjawab Esther, "Iya. Nggak lupa."

"Yaudah, buruan pulang."

"Iya. Ass—"

Tut!

Mati. Belum sempat Surya mengucapkan salam, Esther sudah mematikan sambungan. Kayaknya gadis satu itu punya spesialis memotong salam deh, tadi belum selesai salam sudah diteriaki. Sekarang belum juga ucap salam sudah dimatikan. Surya hanya mampu menggeleng. Galak gitu tapi Surya sayang. Eh...

Pemuda Tionghoa itu berdiri di depan cermin tanpa baju atasan, kebiasaan kaum Adam kalau tidur sering tidak pakai atasan. Nah, berlaku untuk Erlan juga. Erlan sudah mencuci mukanya di wastafel. Rambut merahnya seperti jambul ayam jago yang berdiri ke atas. Mata sipitnya makin hilang, celana kolor yang ia pakai terlihat aneh, dan gerakan lambatnya ketika mengambil sikat gigi serta pasta gigi. Terlihat ogah-ogahan tapi dilakukan juga.

"Mau kemana lo?" tanya Surya dari dalam WC yang hanya dipisahkan sekat. Erlan memuntahkan pasta gigi ke dalam wastafel dan berkumur-kumur. Enggan menjawab Surya karena mulutnya masih penuh dengan air dan busa. Begitu selesai, Erlan menjawab pertanyaan Surya, "Ke gereja lah. Minggu nih, mau natalan juga."

SEMESTA [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang