Semilir angin malam yang begitu dingin menyapa kulit tangan. Deretan bintang berkelip cantik diterpa awan hitam nan kelabu. Ayunan pepohonan yang meraung seolah mengisyaratkan dinginnya malam ini. Tak sedetik pun mata sang pemuda luput dari kilauan cahaya remang rembulan yang sedikit sendu. Helaan nafas halus begitu pelik untuk didengar. Seperti menunjukkan beban hidup dari seorang Langit Erlangga.
Malam-malam indah yang sayang dilewatkan untuk nongkrong di balkon sendirian. Gitar coklat kesayangannya tergeletak tak berdaya disampingnya. Secangkir kopi hitam yang tinggal separo pun menjadi bukti seberapa lama Langit tengah memandang pantulan dirinya di atas sana. Ditemani alunan musik indie, iris coklatnya memandang sebuah cahaya keperakan dengan begitu lembutnya.
"Gue pikir kemana, taunya disini."
Langit menoleh, mendapati Surya dengan rambut setengah basahnya. Ditangannya menenteng secangkir kopi susu yang masih mengepulkan asap.
"Baru balik?" tanya Langit basa-basi.
"Yoi. Biasalah, abis futsal gue sama anak-anak," jawab Surya seadanya. Mulutnya meniup kopi susu dan menyeruputnya dengan penuh perasaan. Rambut basahnya menutup hampir semua matanya, membuat Langit bergidik. Takut kalau-kalau rambutnya nyolok mata Surya.
"Potong kek, njing!"
Surya mengibaskan rambutnya ke kiri dan ke kanan, "Besok aja lah. Tanggung ini mah."
"Di kucir Luna mampus lo. Parahnya ya dipotong paksa sama Esther. Lo gak inget tahun lalu rambut gue berantakan gara-gara Esther?" celoteh Langit. Mengingat tahun lalu yang menyebabkan rambutnya bernasib naas.
"Hahahahaha anjing! Iya-iya ah, besok dah gue potong."
Hening. Hanya ada hembusan nafas antara dua pemuda. Pikiran mereka melayang terbawa angin malam. Menerbangkan memori-memori indah yang begitu sayang untuk terlewatkan. Memberi waktu sejenak untuk bernostalgia walau tak saling ucap.
"Dipikir-pikir, kita udah tua, ya? Bentar lagi lulus, terus kerja, terus nikah, punya anak, jadi kakek-kakek bangkotan. Ck, time so fast," ujar Langit sedikit memberi narasi malam ini. Membuat topik hangat tapi sensitif ditelinga Surya.
"Gue bisa bayar kuliah sama kos aja udah syukur alhamdulillah. Belum kepikiran sejauh itu gue, Lang."
"Gue pengen deh hidupnya terstruktur. Kayak Bang Jonathan. Atau gak, kayak Bang Wisnu gitu," Langit berandai-andai. Matanya berkilauan diterpa cahaya lampu-lampu bohlam.
"Gak usah membandingkan gitu. Kita punya porsinya masing-masing," tukas Surya. Langit sedikit tertohok, tapi dirinya membenarkan kalimat Surya barusan. Manusia memang punya porsinya sendiri. Yang terlihat baik bagi seseorang, belum tentu baik bagi diri sendiri. Semua hadir karena alasan. Tuhan memberikan kelebihan dan kekurangan bukan untuk dibandingkan, melainkan untuk dijadikan pelajaran. Agar manusia selalu bersyukur atas apa yang telah diberikan.
"Lo gimana?"
Surya menghentikan kegiatan menyeruput kopi dan menoleh sedikit, "Hm? Gue? Gue gimana? Apanya?"
"Bokap lo?"
"Oh, gak tau gue. Kemarin telponan, tapi bentaran doang. Cuma ngabarin kalo Bang Bima naik pangkat," jelas Surya. Terlihat jelas kalau ada sirat iri dimatanya.
Langit hanya mangut-mangut. Diam sambil meresapi. Bukan karena tak punya nasihat. Tapi dirinya takut kalau terlalu ikut campur masalah Surya.
"Lo sendiri? Gimana papa lo? Udah beres dari rumah sakit?"
Cengiran lebar muncul setelah katupan rapat bibir Langit, " Udah. Tadi pagi balik. Kakak gue rempong banget, pake segala nyewa suster buat ngurusin papa. Padahal mama juga di rumah, bisa setiap saat jagain papa."

KAMU SEDANG MEMBACA
SEMESTA [end]
FanfictionSemesta Persahabatan, Cinta, dan Cita-Cita. Tentang bagaimana semesta mempertemukan empat serangkai yang orang sebut sebagai sahabat. Dan tentang bagaimana bumbu-bumbu cinta yang empat serangkai itu rasakan. Hingga tentang bagaimana cara semesta men...