Semesta
Persahabatan, Cinta, dan Cita-Cita.
Tentang bagaimana semesta mempertemukan empat serangkai yang orang sebut sebagai sahabat. Dan tentang bagaimana bumbu-bumbu cinta yang empat serangkai itu rasakan. Hingga tentang bagaimana cara semesta men...
Perkebunan yang becek menjadi pemandangan untuk kisah kali ini. Daun-daun yang terguyur oleh rintikan hujan yang berubah menjadi siraman lebat. Bukan angin sepoi-sepoi lagi namanya. Para petani yang berteduh di gubug-gubug reyot termakan waktu. Aliran irigasi yang mulai meluap ke sawah-sawah disampingnya. Dan kawanan semut yang tengah merayapi pilar gubug.
Seorang pemuda berkaos hitam dilapisi jaket PDH berwarna hijau tua khas seperti mahasiswa Fakultas Pertanian jurusan Agroindustri memperhatikan teman sekelompoknya yang sama-sama terdiam mengamati hujan. Di dada sebelah kirinya terpampang nyata nama Bara Surya Wardoyo, nama lelaki berpawakan tinggi besar itu. Tangannya mengeratkan jaket itu, tangan satunya mendekap map berisi catatan hasil dari observasi yang baru saja ia lakoni bersama teman-temannya.
"Sial banget kita kesini pas hujan."
Sudut bibirnya tersenyum miris. Sejak tempo hari dirinya sudah mengajak mereka mengerjakan tugas kelompok ini. Tapi, semua berdalih dengan alasan sibuk organisasi lah, sibuk ini lah, sibuk itu lah. Dan sekarang, semua mendumel karena mereka berkunjung di perkebunan kota seberang dihari yang salah. Ditambah ide untuk menggunakan bis sebagai transportasi ke kota sebelah. Ribet.
"Sur, laporan aman? Nggak kehujanan, kan?" tanya seorang cewek berkerudung cream sembari mengganti sepatu sneakersnya dengan sandal gunung.
"Aman, Dar."
Surya berdecak ketika hujan tak kunjung reda. Dan dengan nekat, mereka terpaksa pulang dengan bermodalkan payung lipat dan jas hujan plastik. Di stasiun pun banyak orang yang menatap aneh ke arah sekelompok mahasiswa yang basah dimana-mana. Dengan kesabaran tinggal separo, Surya harus mendengarkan suara tangisan bayi yang begitu nyaring ketika bis baru saja beranjak dari peraduannya.
Keputusan terbaik saat ini adalah mendengarkan musik lewat earphone. Menelisik setiap sudut kota yang habis diguyur luapan air dari langit. Tangannya menari di papan tik smartphone keluaran terbaru miliknya. Mengetikkan beberapa kalimat balasan untuk chat yang masuk. Tak ada chat masuk dari sahabat-sahabatnya. Selalu seperti ini. Sibuk dengan dunianya sendiri. Tapi, ini lah pertemanan yang Surya inginkan. Tak mengikat, tapi saling terikat.
Ingatannya menerawang jauh saat seorang gadis menolongnya saat kecelakaan di tahun pertamanya menjadi mahasiswa di kota perantauannya. Bagaimana gadis itu dengan telaten mengobati lukanya dan bagaimana gadis itu mendengarkan kisahnya yang habis ditendang dari kosan karena bertengkar dengan kakak tingkat. Ah, Esther, si gadis baik hati yang kini menjadi sahabat baiknya. Bohong jika dirinya biasa saja. Mereka sempat berpacaran, hanya satu bulan. Tidak bisa dinamakan sebagai pacaran menurut Surya. Hanya mencoba-coba, yang berakhir geli sendiri. Akhirnya persahabatan lah jalan terbaik untuk mereka berdua.
"Sur, tolong bukain."
Gadis disampingnya menyenggol lengan kirinya pelan. Ditatapnya botol air mineral itu, lalu meraihnya dan membuka tutupnya tanpa kata. Menyerahkan kembali, kemudian larut dalam pikirannya lagi. Larut dalam kepingan memori yang perlahan memudar. Kepalanya menyender ke kaca bis yang terasa dingin. Menikmati sensasi sejuk yang membaur menjadi uap melalui helaan nafasnya.
Selepas magrib, eh, mungkin sudah isya, bis yang ia tumpangi dari kota seberang telah magrak di stasiun kota. Teman-temannya langsung berhambur mencari kendaraan masing-masing di penitipan motor. Beberapa ada yang menawari Surya untuk bareng, namun ditolaknya secara halus dengan alasan sudah dijemput teman. Nyatanya, Langit sedikit terlambat dalam menjemputnya. Terjebak macet, kata pemuda jakung itu.
"Dara....Gimana?" tanya Langit begitu mereka diam cukup lama di kedai martabak kesukaan Luna.
Surya melirik sebentar, "Nggak gimana-gimana, normal aja."
"Oh."
"Masih suka?" Langit menganguk mengiyakan. Matanya tajam menatap abang martabak yang sedang atraksi membuat kulitan martabak.
"Udah punya cowok, Lang."
Surya lelah mengatakan itu berulang kali. Tapi, yang namanya Langit tidak akan bergeming barang sedetik. Langit keras kepala, lebih keras kepala dari Surya, itu pendapat laki-laki Pertanian. Surya punya prinsip, apa yang sudah dimiliki orang lain sudah tidak bisa ia inginkan.
Hening menjadi atmosfer baru untuk mereka setelah bermenit-menit berdebat sebelum membeli martabak. Kini, setelah tiga kotak martabak itu ada ditangannya, Langit mendadak bungkam. Selalu seperti ini. Langit akan nelangsa jika membahas masalah cinta. Sedangkan, Surya hanya bisa diam dan mencoba memahami.
Begitu pintu terbuka, terpampanglah dua wanita yang sibuk dengan tontonan didepannya. Beberapa piring kotor mengajak untuk dibersihkan. Tapi, maaf, untuk hari ini, Surya tidak ingin menjadi si rajin tukang bersih-bersih. Tulang-tulangnya seolah minta diremas. Kepalanya seperti bianglala yang berputar-putar. Surya lelah. Ajakan makan dari Langit ia tolak dengan halus. Melangkahkan kakinya menuju kamar, berlarut bersama tugas-tugas yang membuat kepalanya seakan mau meledak.
"Makan dulu, Sur, sebelum tidur."
Suara ketukan pintu menyadarkannya dari laptopnya. Dengan gerakan malas ia membuka pintu kamar dan menampakkan gadis berambut sebahu membawa sepiring nasi ayam gepuk.
"Udah tak microwave, anget kok."
"Makasih. Temenin makan."
Surya adalah Surya, yang sepening apapun atau seemosi apapun tidak akan bisa makan sendiri. Dengan kekehan samar, gadis itu mengangguk. Toh, Luna sudah hafal betul bagaimana Surya yang tidak akan sudi makan kalau sendirian.
"Loh, udah jam 11 ternyata. Nggak kerasa."
"Makanya, kalau budrek tuh dibagi-bagi biar nggak stress sendiri. Untung aku masih bangun. Kalau nggak, bisa gak makan kamu sampai besok pagi," cerocos Luna yang disambut gelak tawa oleh si bongsor Surya.
"Besok nggak kelas?"
"Kelas. Jam 10."
"Sama Langit?"
"Ya, nggak lah, kan udah beda penjurusan. Kamu nih kalau budrek jadi pikun ya ternyata."
Lagi, gelak tawa memenuhi meja makan malam itu. Seulas senyum manis terukir dibibir Luna. Jarang-jarang dia akur begini dengan Surya. Biasanya mereka berdua hanya diisi adu mulut dengan toyoran atau cubitan. Entah Surya yang terlalu strictatau Luna yang terlalu random.
20 Menit berlalu, piring yang semula penuh akan makanan, kini telah lenyap menyisakan tulang-tulang ayam. Seperti biasa, Surya akan menyisihkan kulit ayam dan Luna akan dengan senang hati memungut kulit ayam itu.
"Masih nggak paham kenapa ada orang yang nggak doyan kulit ayam."
"Huh? Karena kiwir-kiwir, Luna, geli."
Luna menghela nafas, "Yaudah, aku mau ke atas. Kamu jangan begadang. Dadah, gute nacht!"
"Yow!"
Begitu lah akhir hari ini. Di tutup dengan perhatian sederhana dari seorang sahabat.
•••
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Mingyu as Bara Surya Wardoyo
•••
Hallo, terimakasih sudah membaca. Semoga suka. Salam hangat. Tetap semangat. Vote and comment juseyo~♡