Pagi yang terlalu indah untuk dilewatkan. Hangatnya sinar mentari membuat seorang nenek berjemur dengan santainya. Satu keluarga yang sudah sibuk saling berpelukan mengucapkan kata pamit, sebelum anak dan ayah hilang dibalik mobil. Kucing-kucing liar sedang berjalan-jalan menyusuri komplek. Dan, Bude Yani yang riang gembira sedang menyiram tanaman-tanaman di halaman depan sembari bercengkrama bersama ibu-ibu. Oh, jangan lupakan tukang sayur sedang sibuk melayani para ibu yang berbelanja sayur. Senyum merekah ditampilkan orang-orang disana. Seolah hari ini hati mereka sehangat matahari.
Gadis berusia dua puluhan masih enggan beranjak dari kasurnya. Senin yang menyakitkan baginya. Rintihan lara sesekali terucap, rasa nyeri pada perutnya membuat tubuhnya tak berdaya. Sebuah rasa yang kaum hawa dapat rasakan setiap bulan. Rasa yang begitu menyiksa.
"Luna, Lun, lo gak ngampus?" ketukan di pintu memaksa Luna untuk beranjak dari tidurnya. Membuka pintu yang menampakkan Esther yang sudah siap dengan setelan kampus.
"Bulanan?" tanya Esther prihatin begitu melihat Luna dengan kondisi berantakan.
"Heem."
"Yaudah, lo tipsen aja. Gue mau ngampus, kalau ada apa-apa telpon aja, oke?"
Luna mengangguk. Esther mengelus pundaknya, kemudian turun dengan tergesa. Hijab pashmina coklatnya berkibas-kibas. Dengan gontai, Luna kembali ke kasurnya. Tanpa sadar, dirinya kembali ke alam mimpi. Berselancar ria bersama bunga-bunga tidur.
Entah apa yang harus diceritakan, hanya melihat seorang gadis yang meringkuk.
"Lun, makan skuy? Gue beliin bubur ayam nih!" teriak Langit dari bawah. Jangan tanya kenapa bisa terdengar sampai atas. Selain kelebihan otot pipi yang terus-terusan nyengir, Langit juga kelebihan pita suara.
Luna terusik dengan teriakan Langit, menggeliat sebentar dan mengucek matanya perlahan. Kakinya menuntunnya ke meja makan, mendapati Langit dan Surya bersama dua bubur yang sudah diaduk.
"Buset, gue kira gembel nyasar di rumah. Kenapa lo?" seru Surya begitu Luna bergabung bersama mereka dan meraih satu kotak sterofoam berisi bubur ayam yang masih utuh.
"Biasa, tamu bulanan."
"Gue masakin air deh, botol kompresannya dimana?" Langit beranjak dari duduknya. Meraih panci dan menyalakan kompor. Api kebiruan muncul semakin besar. Tangannya menutup panci agar air cepat mendidih.
"Terimakasih, Lang. Botolnya ada di laci atas tuh," beritahu Luna sambil menunjuk kitchen set di atas Langit. Tanpa banyak cakap, Langit menggeledah isinya. Mengeluarkan botol kompres warna kuning dan membuang sisa-sisa air di dalamnya.
Laki-laki itu kembali bergabung di meja makan, sembari menunggu air dalam panci mendidih. Ketiganya duduk dalam diam. Menikmati sarapan dengan nikmat. Surya makan bersama gawainya dan Langit makan bersama bukunya. Luna mengamati, menyunggingkan senyum syukur. Esther ada kelas pagi. Maka dari itu, di waktu yang masih menunjukkan pukul 8, Esther sudah hilang dari pandangan.
"Kalian nggak ngampus?" tanya Luna begitu menyeruput susu putih kesukaannya.
"Nanti jam 10," Surya yang menjawab. Mulutnya meniup-niup kopi panas yang masih mengepulkan asap pekat.
"Gue hari ini cuma ada satu kelas. Itu pun diganti jadi besok. Yaudah, nganggur," ujar si pemuda berhidung runcing seperti Pinokio.
"Oiya, lo udah titip absen?"
Luna menggeleng, "Gak usah deh, aku nanti izin aja sama dosen."
Gemlutuk air menyapa telinga. Langit bergegas mematikan kompor. Membiarkan panci berisi air panas itu agar sedikit dingin. Dua menit cukup untuk menuangkan air hangat dengan bantuan corong.

KAMU SEDANG MEMBACA
SEMESTA [end]
FanfictionSemesta Persahabatan, Cinta, dan Cita-Cita. Tentang bagaimana semesta mempertemukan empat serangkai yang orang sebut sebagai sahabat. Dan tentang bagaimana bumbu-bumbu cinta yang empat serangkai itu rasakan. Hingga tentang bagaimana cara semesta men...