[11.1] Yang Pertama

187 34 28
                                    

Pukul 2 siang, waktu untuk sang Surya tersenyum bahagia di singgasananya. Memberi jeda untuk manusia-manusia berpeluh untuk sekedar menyesap teh botol dingin di pinggir jalan sambil mengusap peluh dengan handuk lusuh. Sopir-sopir angkot duduk berjajar di pangkalan. Beristirahat sejenak dari kerasnya lalu lintas kota yang semrawut. Anak-anak duduk di trotoar bersama koran-koran yang belum habis terjual. Ibu-ibu pengamen tak kenal lelah bernyanyi dengan suara sumbangnya. Kakek nenek di atas motor Vespa butut yang knalpotnya menyemburkan asap putih keabu-abuan, sang nenek memeluk pinggang kakek begitu romantisnya.

Pemandangan penatnya kota bisa dua insan ini lihat dari sini. Mobil hitam kebanggaan Wisnu tak bergerak sesenti pun, terjebak lampu merah panjang di jalan dekat perpustakaan kota. Tinggal satu kali berbelok dan yap sampai. Luna duduk diam, ikut hanyut dalam keheningan yang sejak tadi menyergapi.

"Kamu beneran gak lapar?" tanya Wisnu untuk kesekian kalinya. Pasalnya, Luna baru keluar dari kelas dan langsung Wisnu ajak ke perpustakaan kota.

Luna menggeleng, matanya tetap fokus memperhatikan manusia silver di depan sana sedang melakukan atraksi akrobat. "Nggak. Aku tadi udah makan roti dua, dibawain Esther."

"Mas Wisnu tuh yang lapar. Kayaknya kurusan. Emang tugasnya banyak banget ya?"

Wisnu memutar stir mobilnya perlahan, menekan sein kiri dan bersiap berbelok. Namun, mobilnya terhenti ketika sebuah motor tiba-tiba memotong jalan dengan seenaknya. Spontan, Wisnu menekan klakson panjang yang membuat semua orang di jalanan menoleh. Si pengendara berlalu begitu saja tanpa merasa bersalah. Luna bisa melihat raut emosi Wisnu, betulan emosi tanpa dibuat-buat.

"Sorry-sorry, itu tadi bikin kaget. Apa tadi? Tugas ya? Mmmm, ya gitu lah, semester tua. Harus cepat-cepat selesaiin tugas besar kalau mau skripsi awal. Soalnya ayah—" Wisnu mendadak diam. Kebiasaan tak pernah berbohong membuatnya hampir saja mengatakan hal-hal yang seharusnya tak ia ceritakan. Bukan berbohong, tapi Wisnu hanya belum siap menceritakan tentang rencana ayahnya yang menyuruh Wisnu untuk melanjutkan studi S2 nya di Jerman.

"Hm? Kenapa?"

"O-oh, nggak, gak papa. Nah udah sampai. Yuk turun?"

"Okeiiii~"

Luna dan Wisnu adalah dua dari sekian banyak orang yang selalu berlangganan di perpustakaan kota. Mereka berdua bahkan sengaja membuat kartu member supaya lebih mudah untuk meminjam buku disini. Jika diingat, pertemuan pertama mereka bukan di halte dekat kampus sewaktu hujan sore itu. Tapi disini, di perpustakaan kota.

"Aku pertama kali lihat kamu disini. Di meja dekat jendela, lagi baca bukunya Pramoedya Ananta Toer," ucap Wisnu sembari menatap sang gadis. Senyumnya merekah, begitu mengingat betul bagaimana waktu itu Luna seperti robot yang haus akan pengetahuan sejarah.

"Tapi aku gak tahu, aku ingatnya pertama ketemu di halte."

Tangan Wisnu menarik pergelangan Luna dengan lembut. Menuntunnya ke arah meja pojok yang lebih besar dari meja-meja dekat jendela. Suasana hening tapi hidup adalah suasana yang paling Luna senangi. Mereka semua, orang-orang yang sedang membaca buku disini, punya kegemaran yang sama dengan Luna. Memberi arti bahwa tak semua benci membaca. Banyak manusia yang mungkin kurang mengerti akan betapa spektakulernya sebuah buku yang mampu  mengantar imajinasi semua orang. Wisnu duduk di depan Luna, mulai menyiapkan kertas dan semua alat-alat perangnya. Sebenarnya, Wisnu sibuk dengan kuliahnya. Ditambah dengan tuntutan sang ayah yang kerap kali membuat pemuda itu sulit hanya sekedar untuk nongkrong di warung kopi. Tenaganya sudah habis diforsir, bahkan kemarin lusa, Wisnu sempat mimisan dan asam lambung karena sering melupakan makan. Luna tahu? Sekedar tahu kalau Wisnu sakit tapi tak tahu apa yang membuat si pujaan sampai terkulai. Ini juga yang menjadi alasan kenapa Wisnu tiba-tiba mengajak Luna ke perpustakaan kota.

SEMESTA [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang