[2.1] Rumah

434 42 7
                                    

Rumah berlantai dua dengan satu garasi besar adalah saksi bisu bagaimana kehidupan empat manusia yang mulai beranjak dewasa. Ditanami bunga-bunga cantik didepannya, membuat kesan asri melekat pada rumah ini. Dua kamar bawah dan dua kamar atas menjadi tempat mahasiswa rantau mengistirahatkan tubuh penuh beban hidup. Disinilah semua kisah akan bermula.

Kos, atau kontarakan, mungkin? Yah terserahlah bagaimana menyebutnya. Yang pasti, rumah bercat abu-abu itu disewa oleh empat sekawan. Awalnya hanya berdua, kemudian bertiga, lalu berempat.

Ditahun pertama, sewaktu Luna masih menyandang status Mahasiswa Baru, mamanya mengenalkan pada Bude Yani yang memang berasal dari kota tempatnya tinggal. Beliau adalah saudara jauh dari Yangti. Menyarankan agar tinggal di rumahnya saja pada waktu itu. Suaminya pensiunan pegawai negeri, anak-anaknya pun telah berkuliah dan bekerja diperantauan. Tak ada alasan untuk bisa menolak. Toh, lebih enak tinggal bersama orang yang keluarganya kenal.

Namun, kejadian yang paling tak terduga datang. Perkenalan singkat nan mendalam terjadi antara Mama Luna dengan Esther, si cewek yang tasnya tertukar oleh Luna. Dan, lewat perkenalan itu, Esther menerima tawaran Mama Luna untuk tinggal bersama. Bude Yani langsung menyarankan untuk tinggal di rumah samping yang awalnya akan diberikan pada anak-anak Bude Yani kelak. Karena lebih luas dan leluasa, kata Bude Yani hari itu.

Satu bulan kemudian, Esther datang membawa Langit. Meminta izin pada Bude Yani untuk menerima Langit sebagai anak kosnya. Sangsi tentu saja. Bagaimana bisa seorang laki-laki satu kos dengan perempuan? Tapi dengan penjelasan Esther dan juga telpon dari Mama Esther, akhirnya Bude Yani setuju. Banyak pertimbangan, banyak larangan. Semua maklum, Bude Yani hanya tidak ingin ada hal yang tak mengenakkan terjadi.

Tak genap sebulan, mungkin dua minggu, Esther kembali mengenalkan sosok asing yang penuh luka lebam dan lecet-lecet kala itu. Luna menatap ngeri bercampur nanar pemuda yang terlihat mengenaskan. Bude Yani sangat sangsi pada Surya. Awalnya tak ingin menerima Surya sebagai anak kostnya. Tapi Langit dengan sejuta mulut manisnya berhasil menakhlukkan Bude Yani. Hingga, berangsur-angsur Bude Yani tahu bagaimana sifat asli Surya dan menyukai pemuda itu.

Rinai hujan masih terus membasahi bumi. Pohon-pohon bergelayutan layaknya seorang gadis sedang menari. Udara dingin menyeruak, memberi sensasi menusuk yang lebih mirip disebut suntikan. Pukul 7 pagi di hari Minggu. Keempat anak manusia masih setia bergelung bersama selimut dan mencoba menjelajahi alam mimpinya. Seolah dentuman gemuruh tak mampu mengusik tidur panjang mereka.

"Hoammm, laperrr," gumam seseorang.

Dengan langkah goyah, kakinya menuntun untuk menjamah dapur. Meneliti satu demi satu isi kulkas. Tangan kirinya menggaruk tengkuknya kasar. Tak menemukan satu pun makanan yang dapat disantap.

"Pagi. Baru bangun?" sapaan terdengar nyaring ketika seseorang datang dari biliknya. Sama-sama kucel, bedanya, orang itu datang dengan senyuman secerah matahari.

"Hooh. Laper, Lang."

Tak lama kemudian, dua manusia lainnya ikut duduk di meja makan dapur. Melamun adalah hal pertama yang mereka lakukan. Sesekali seorang gadis menggosok-gosokkan telapak tangannya. Mencoba menghalau dinginnya udara pagi itu.

"Mau makan apa, nih?" Surya angkat bicara setelah keheningan menyelimuti keempatnya. Matanya menatap satu-satu sahabatnya yang membuat sudut bibirnya terangkat samar.

"Bahan masih?" tanya Luna.

"Masih, tinggal dikit," jawab Langit dengan ekspresi melas yang membuat Esther bergidik ngeri.

"Beli aja, yuk? Sekalian refreshing," usulan Surya mendapat binar cerah dari mata ketiganya. Mereka seakan lupa jika hujan masih membasahi bumi.

Sesaat setelah berdiskusi pendek, semuanya masuk kamar masing-masing. Menyisakan ruang hampa. Gemercik air masih menjadi backsound untuk kisah Minggu ini. Entah sampai kapan musim akan berganti.

SEMESTA [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang