Baru saja mobil itu berhenti di halaman rumah setelah menghabiskan waktu dengan Yovan tadi. Lia sejenak menatap arloji di pergelangan tangan kemudian turun menuju ke dalam rumah.
Akhir-akhir ini, ia memang jarang pulang ke kediamannya dan lebih memilih berada di apartemen atau pun indekos Yovan.
Bukan karena tidak ingin menikmati waktu bersama keluarga. Namun, sejak kenyataan yang membuat dirinya masih belum mampu berdamai dengan keadaan, keharmonisan orang tuanya juga sudah berbeda.
Banyak pertengkaran kecil yang mulai timbul dan rasanya tidak terkendali sehingga ia dapat beberapa kali mendengar semua itu. Perdebatan singkat yang menyangkut satu nama pun selalu menghantui hidup keluarga Lia.
Enggan rasanya kaki itu menginjakkan diri di rumah kedua orang tuanya. Namun, tidak mungkin juga ia benar-benar tidak lagi peduli pada Ayah dan Ibunya begitu saja, sebab dalam pikiran Lia bukan mereka yang harusnya hancur, tetapi akar permasalahan yang menyebabkannya.
Mengingat, setiap sumber permasalahan membuat Lia sama sekali tidak pernah melesungkan senyum atau sekadar menatap siapa pun dengan santai. Sikap yang tadi muncul bersama Yovan, hanyalah kepalsuan semata yang kini kembali ke semula.
Lia mengembuskan napas dan berjalan masuk ke dalam rumah. Hingga pintu terbuka, lagi dan lagi, sebuah suara perdebatan masuk ke telinga Lia.
"Ck, mereka berantem lagi," gumam Lia lelah.
Ia tetap masuk dengan perlahan, kali ini tidak ada niatnya kembali menyela perdebatan dan justru ingin mendengar bahasan apa lagi yang membuat semua seperti ini.
"Pras, hampir satu tahun sikap kamu bener-bener enggak kayak biasanya. Kenapa, sih?" Alesa mulai jengah dengan seluruh sikap Prasetyo yang lebih banyak diam tanpa komunikasi yang jelas dengan dirinya beberapa bulan belakangan ini.
"Kamu marah karena aku nggak ngijinin Yovan tinggal di sini? Sikap kamu yang cuek ini cuman karena masalah itu?"
Prasetyo yang tadinya masih berusaha acuh dan hanya fokus pada ponsel mendadak menghentikan segala aktifitasnya. Rasanya lelah jika pembahasan yang sama di ulang tanpa sang istri paham bagaimana perasaannya saat ini. Keegoisan yang dianut sang istri masih saja bertahta tinggi, wanita itu sama sekali tidak peduli apa pun tentang dirinya.
"Apaan sih, Sa? Kamu enggak capek bahas ini terus? Toh jawabannya juga kamu tauk, kok, please, aku capek."
Prasetyo mulai bangkit dari sofa ruang tengah berniat ke arah yang berbeda demi menghindari pertengkaran. Namun, Alesa yang sudah muak akan sikap itu langsung menghadang dengan menarik pergelangan sang suami hingga Prasetyo berhenti.
"Ck, apa lagi?"
Nada Prasetyo mulai tidak enak di dengar oleh Alesa.
"Kamu beneran berubah cuman gara-gara anak itu?"
"Anak itu? Apa sesepele itu kamu anggep Yovan? Dia anak aku loh, Sa. Nada ucapanmu salah kalau kayak gitu."
Alesa menggertakkan giginya saat lagi-lagi diingatkan dengan status anak yang benar-benar ia benci.
"Kamu sadar gak sih kalau dia aja gak tau kamu bapaknya, Pras. Si Melinda bahkan nggak kasih kesempatan buat anak yang kamu banggain itu tau kalau kamu ayahnya. Harusnya kamu udah sadar kalau pedulimu itu gak bakal dianggep!"
"Ya terus apa karena itu aku berhenti buat peduli? Sa, aku sayang sama Yovan sama kayak aku sayang ke Lia. Apa aku salah ngasih sebagian rasa sayangku ke anak aku sendiri? Konyol kayaknya kalau kamu ngelarang cuma demi ego kamu!"
Prasetyo kembali berjalan meninggalkan istrinya yang membuat bara api dalam hati samg istri kian membara. Ada kekhawatiran di benak wanita itu bahkan sejak Yovan datang ke kediaman mereka. Ada rasa takut yang tidak bisa dijelaskan dan membuatnya otomatis bersikap seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐆𝑎𝑟𝑎-𝐆𝑎𝑟𝑎 𝒁𝚊𝚎𝚗𝚊𝐛 (TAMAT)
Teen FictionPERINGATAN : MEMBACA CERITA INI BISA MENYEBABKAN KETAWA BENGEK, BAPER MENDADAK, KESAL INGIN MENGHUJAT DAN MALES BEBENAH. #1 - anakkampus *** Gara-gara Zaenab, Yovan jadi menyadari, bahwa bahagia itu bukan dicari, tapi diciptakan. Ini adalah cerita s...