101, Bukan Dalmatian.

360 81 7
                                    

Dua tahun kemudian ~

Mobil Yovan baru saja terparkir di garasi rumah tepat jam 12 tengah malam. Ia sudah was-was sebab tidak mengabari Zaenab jika pulang terlambat. Sial baginya, klien yang ditemui tadi malam jam tujuh menginginkan waktu lebih hingga tidak sadar sudah melebihi batas.

Mau ditolak juga sayang banget karena itu klien priroritas di lini usaha Yovan. Pria berusia 25 tahun dua bulan lalu itu turun dari mobil dan berjalan menuju ke dalam rumah. Lampu-lampu di depan memang belum mati, pertanda mungkin Zaenab belum tidur.

"Aduh bisa gawat ini. Ck, lagian tuh Pak Farel ngapa ngebacot mulu dah. Sungkan kan mau balik."

Sekarang Yovan justru menyalahkan yang lain karena lebih takut amukan istrinya. Ia pun membuka pintu rumah dan benar saja, pintunya enggak dikunci sama sekali.

Pria itu pun melongok perlahan dan dilihat di ruang tamu itu enggak ada siapa-siapa. Suara hening juga menyapa, enggak ada kegaduhan berarti. Yovan sedikit bernafas lega, mungkin Zaenab sudah tertidur atau ketiduran sampai enggak mengunci pintu rumah.

Yovan pun segera berbalik, mengunci pintu rumah secara perlahan agar tidak berisik dan berniat langsung menuju ke kamar. Namun, ia langsung kaget luar biasa ketika Zaenab tiba-tiba ada di depan matanya. Jantungnya hampir lepas dari tempatnya sampai kakinya nyaris lemas. Wanita iyu melipat kedua tangan di dada dengan sebuah senyum lebar, tapi bagi Yovan ini tandanya siaga 1 karena aneh.

"Itu--"

"Duduk dulu."

Yovan menurut saja kala sang istri menyuruhnya untuk duduk di sofa. Sementara Zaenab juga duduk di seberang Yovan.

"Jadi bagaimana Baginda? Saya butuh penjelasan bagaimana Baginda bisa pulang jam 12 malam, padahal janjinya paling lambat jam 10 malam? Lalu kenapa juga Baginda ini tidak memberitahu saya sebelumnya? Bukannya ada HAPE bukan lagi pake HT atau terompet sangkakala?"

Ekspresinya masih sama, senyum Zaenab masih bertengger di sana enggak berubah. Namun, Yovan sudah panas dingin dan gugup luar biasa.

"Jadi begini Nyonya eh Kanjeng Ratu. Tadi itu setelah menimbang, menimang dan menyepakati kesepakatan bersama untuk sebuah bisnis bulan depan, Pak Farel selaku pihak pertama mengajak saya, selaku pihak kedua untuk bercengkara dan haha hihi bisnis. Jadi mohon maaf Kanjeng Ratu kalau saya pulangnya terlambat. Untuk HP, anu Kanjeng ratu, HPnya mati."

Zaenab mengangguk dengan ekspresi yang sama dan masih menatap Yovan.

"Sepertinya alasan Baginda tidak tepat. Saya sudah membekali Baginda dengan POWER BANK yang FULL TANK! Coba Baginda lihat."

Yovan langsung buru-buru memeriksa isi tas kecil yang selalu ia bawa-bawa dan memang di kantung depan ada power bank persis seperti apa yang dikatakan istrinya. Jujur saja sedari tadi bahkan ia tidak pernah memeriksa isi tas depannya. Ponsel saja ia genggam kalau enggak ditaruh dikantung. Tas itu cuman formalitas saja untuk tempat dompet.

"Oh, astagfirullah." Kalah telak sudah Yovan, enggak punya alasan lagi. "Maaf, maaf banget Kanjeng Ratu. Ini kesalahpahaman. Saya lalai. Maaf. Jadi menurut Kanjeng Ratu gimana solusi yang pas aja biar ini bisa ada jalan keluarnya begitu."

Yovan cuman bisa nyengir dan merasa kikuk sama Zaenab sekarang. Enggak punya alasan lagi dan berharap Zaenab enggak marah saja sudah mukjizat baginya.

Zaenab masih terdiam. Ia seperti berpikir, tetapi enggak sampai lama kembali menatap Yovan, suaminya.

"Saya punya solusinya satu-satunya. Jadi Baginda lebih baik keluar lagi lewat pintu dapur terus ditutup ya. Karena sekarang sudah pukul 12 tengah malam, silakan Baginda keluar tanpa alasan apapun. Terima kasih."

Mampus! Masa iya gue tidur luar? Duh, gimana ya? Ck!

Zaenab sudah final dan ia berniat beranjak dari sofa itu. Namun, Yovan langsung menghentikan niatnya dan menyuruh Zaenab untuk duduk lagi. Ia punya cara. Iya, cara satu-satunya.

"Begini-begini. Tunggu penjelasan saya dulu. Izinkan saya tidur di kamar. Saya punya penawaran bagus."

"Apa?"

Yovan langsung menarik satu buah amplop cokelat dari dalam tasnya. Ia merogoh lima lembar ratusan ribu dan sisanya ia berikan pada Zaenab.

"Ini. Ini bonus bulan lalu dari Pak Reyhan. Jumlahnya lima juta. Lumayan bukan? Tapi? Saya minta 500 ribu aja, bensin mobil abis. Deal?"

Zaenab melirik amplop yang sudah ditangan, tetapi keputusannya belum final

"Oke. Baginda boleh tidur di dalam, tapi di ruang tengah. Ada sofa empuk di sana."

Yovan melongo mendengarnya. Ia sudah berekspektasi bahwa Zaenab akhirnya mengizinkan untuk tidur di dalam kamar. Namun, nyatanya sogokan 4 juta 500 itu enggak berarti apa-apa.

"Loh kok masih di luar. Di dalam lah ya? Iya-iya janji besok-besok ngabarin. Kalau enggak pake HP sendiri. Janji ntar pake HPnya waitress atau OB sekalian."

"Oh, Baginda mau tidur di kamar?"

Yovan mengangguk antusias. Ia bahkan sudah enggak duduk di sofa, melainkan berlutut di depan Zaenab langsung.

"Boleh. Ada tambahan sebesar 500 ribu."

"HAH?"

"Mau apa tidak?"

"Oke, iya-iya." Yovan terpaksa mengeluarkan uang lima ratus ribunya tadi dan diserahkan pada Zaenab yang sudah kegirangan karena negosiasi itu berhasil.

"Oke, sono ganti deh. Harus bersih kalau mau tidur. Kalau laper ada makanan di lemari."

Zaenab langsung berjalan sembari menghitung uang dalam genggaman, meninggalkan Yovan yang nelangsa.

'Urusan duit aja cepet banget. Tapi, iya gak papa deh, daripada tidur di luar.'

.
.
.

END 🤗.

𝐆𝑎𝑟𝑎-𝐆𝑎𝑟𝑎 𝒁𝚊𝚎𝚗𝚊𝐛 (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang