"Ibundaaa, harus banget ya Zaenab ke kampus hari ini?" Zaenab masih merengek, berharap tingkahnya bisa mengurungkan niat Ibundanya.
Bunda Aya, seorang wanita paruh baya yang kini memasukkan berkas-berkas dokumen ke tas yang biasa Zaenab pakai sekolah. Wanita itu tidak peduli lagi sama ocehan sang puteri yang bersikeras membatalkan usaha untuk bisa berkuliah.
"Za, pendidikan itu penting! Lo harus kuliah pokoknya!"
"Apa sih yang penting kalau ujung-ujungnya di dapur, tuh ijazah buat bungkus cabe rawit?"
Bunda Aya mencebik kesal, sesusah itu memberitahu Zaenab bahwa pendidikan tinggi bukan semata-mata kertas berstempel logo Universitas. Wanita paruh baya itu cuma menginginkan Zaenab berkuliah untuk calon anak-anaknya kelak di masa depan, karena Bunda Aya masih berpegang teguh bahwa madrasah pertama sang buah hati adalah seorang ibu. Baginya, sosok pendidik pertama sebelum guru adalah ibu sendiri, sebab itu perempuan juga harus pintar dalam segi akademik.
"Udah jangan kebanyakan bawel! Nih, sono berangkat. Ambil tuh formulir jurusan yang lo demenin, kalau sampe lo pulang enggak bawa tuh formulir, makan sama tidur di luar, enggak usah balik!" Zaenab hanya cemberut, mendapati perlakuan tegas dari wanita yang entah sejak kapan dia panggil Ibunda. Sebab, Zaenab sudah beberapa kali mengganti panggilan untuk ibunya, mulai dari Emak, Mama, Mamih, Mom, Umi, Ndoro Nyai dan sekarang Ibunda.
"Tega betul Ibunda pada diriku." Zaenab mulai bersikap sok dramatis, mungkin kalau dia ikut casting pemeran FTV, Zaenab pasti bakal langsung diterima. Lagipula, hanya karena masalah kuliah yang tidak diharapkan Zaenab, sang ibu tega mengusirnya secara terang-terangan. Jahat banget.
"Udah sono berangkat! Kok malah diem aja lu di situ, udah mau siang ini!" titahnya lagi sembari berjalan meninggalkan Zaenab ke arah dapur.
Sementara Zaenab sendiri masih mencebik kesal, sebab sang ibu sudah menghilang dari pandangan. Mau tak mau, cewek dengan rambut terkuncir kuda itu melangkahkan kaki dengan berat hati keluar rumah, hanya beberapa langkah sebelum ia mendadak berhenti.
"Bundaaaa, uang jalan manaaa?" teriak Zaenab.
"Minta abang lu!"
"Ck, aelah ... awas aja kalo nanti masuk angin minta kerokin Zae!" Lagi, Zaenab mendumel.
Namun, ia memilih untuk mengeluarkan vespa tua kesayangannya, untuk menuju ke salah satu markas pemadam kebakaran kota Jakarta Selatan, tempat di mana Darto—kakaknya bekerja.
Jangan harap Zaenab berpakaian rapi seperti kebanyakan cewek lain dengan setelan feminin, nyatanya ia lebih suka memakai dalaman kaos oblong putih polos kemeja flanel yang dilingkis setengah siku, celana jeans dan sepatu sneakers. Andai Zaenab adalah seorang cowok, pasti jadi idaman cewek-cewek.
***
Vespa kuning miliknya akhirnya berhenti di depan gedung yang tidak terlalu besar, di mana terdapat beberapa truk besar pemadam kebakaran bewarna oranye dipadukan biru tua. Zaenab melepas helm yang ia pakai dan meletakkannya di atas sadel vespanya. Cewek yang menenteng tas rangsel kemudian berjalan dengan santai sambil bersenandung kecil ke dalam kantor pemadam kebakaran wilayah Jakarta Selatan, tempat dinas sang kakak.
"Eh, Za, lu di sini ... mau ketemu sama, Kang Mas, ya?" sapa seorang pria bertubuh tambun yang baru saja keluar dari gedung itu.
"Naaah iya, Bang. Kang Mas udah dateng?"
"Ada-ada. Mau dipanggilin? Atau, Za, mau minum dulu? Biar abang yang beliin noh di depan."
Zaenab menggeleng cepat. "Enggak perlu, Bang. Zaenab lagi buru-buru, mau meeting sama investor hehe, Zae ke dalem dulu deh yaaa ...."
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐆𝑎𝑟𝑎-𝐆𝑎𝑟𝑎 𝒁𝚊𝚎𝚗𝚊𝐛 (TAMAT)
Novela JuvenilPERINGATAN : MEMBACA CERITA INI BISA MENYEBABKAN KETAWA BENGEK, BAPER MENDADAK, KESAL INGIN MENGHUJAT DAN MALES BEBENAH. #1 - anakkampus *** Gara-gara Zaenab, Yovan jadi menyadari, bahwa bahagia itu bukan dicari, tapi diciptakan. Ini adalah cerita s...