18. Mengapa Jadi Begini

1.9K 106 5
                                    

Vanessa tiba di gedung jurusannya sekitar sepuluh menit sebelum jam delapan pagi. Nyaris membuat wanita itu takut seandainya ia terlambat sampai. Yah, siapa pun tau, jalanan di pagi hari adalah cobaan untuk semua orang. Terutama untuk orang yang memiliki jadwal rapat di jam delapan. Bahkan tadi sebenarnya sepanjang perjalanan, Vanessa sempat ragu bahwa dirinya akan tiba tepat waktu sebelum rapat dimulai. Tapi, untunglah semua yang ia takuti tidak terjadi.

Menarik napas dalam-dalam, Vanessa sekilas memperbaiki penampilannya di kaca jendela. Merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Pun dengan stelan celana dasar dan kemeja yang ia kenakan. Walau ada sedikit kusut di kemeja yang ia kenakan, tapi Vanessa merasa bahwa secara keseluruhan ia tetap terlihat rapi.

Sejurus kemudian setelah merasa penampilannya sudah cukup, wanita itu pun melangkah dengan langkah yang anggun dan teratur. Berbeda sekali dengan langkahnya yang terburu-buru tadi. Hak sepatu tingginya terdengar mengiringi tiap langkah kaki yang ia lakukan.

Dari kejauhan, Vanessa sudah bisa melihat pintu ruang rapat yang terbuka. Cahaya lampu dari dalam sana tampak menyinari hingga ke luar ruangan. Cukup menjadi tanda bagi Vanessa bahwa sudah ada orang di sana.

Vanessa masuk ke ruang rapat Jurusan. Mendapati bahwa seorang karyawan tata usaha Jurusan terlihat sedang menyiapkan LCD dan laptop untuk rapat.

"Pagi, Pak Nanto."

Nanto yang telah berusia lima puluh lima tahun itu menoleh, tersenyum ramah pada Vanessa. "Pagi juga, Bu. Baru sampai?"

Vanessa meletakkan tas kerja dan tas laptopnya di atas meja besar yang berbentuk persegi panjang itu. Ia mengangguk dengan raut lega di wajahnya. "Iya, Pak. Untung keburu sampai sebelum mulai. Tadi saya pikir saya bakal telat. Ugh! Tadi itu benar-benar sangat macet."

Sekilas Nanto terdengar terkekeh pelan. "Lagipula, dosen yang lain juga belum pada datang kok, Bu. Kan biasanya juga rapat mulainya agak molor-molor juga," kata Nanto.

Perkataan Nanto mau tak mau membuat Vanessa ikut tertawa.

Nanto kemudian mengecek tampilan LCD untuk terakhir kali sebelum akhirnya ia beranjak dari sana. "Saya permisi dulu, Bu."

Vanessa yang telah duduk kemudian mengangguk sopan pada Nanto. "Iya, Pak. Terima kasih."

Selepas kepergian Nanto, Vanessa segera menyalakan laptopnya. Membuka file presentasi yang sudah ia buat semalam dan langsung menyalin file tersebut ke dalam satu flashdisk.

Ia beranjak ke laptop jurusan yang telah menyala. Memindahkan file tersebut ke laptop tersebut dan langsung membukanya. Tayangan presentasi itu serta merta terpampang di dinding putih di belakang Vanessa.

"Pagi, Bu Vanessa."

Satu sapaan dengan suara yang ringan dan bersahabat membuat Vanessa memalingkan wajahnya. Melihat ke arah pintu. Dan ia mendapati seorang pria dengan usia tiga puluh tahun masuk ke ruang rapat tersebut. Pakaian pria itu rapi, perpaduan yang pas antara sepatu hitam mengkilap, celana dasar hitam, dan kemeja batik bewarna cerah. Semuanya menjadikan penampilan pria itu terlihat pas di mata siapa pun yang melihatnya.

"Pagi, Pak Nathan," balas Vanessa tersenyum pada pria itu. "Datang pagi hari ini, Pak. Ada kelas atau ada seminar?"

Nathan terlihat menyentuh kacamata berbingkai tipis yang ia kenakan. Tersenyum dan menggeleng. "Nggak ada kelas sih. Kalau seminar sebenarnya memang ada, tapi kan jam sepuluh ntar," jawabnya seraya menarik satu kursi dan duduk.

"Oh ...." Vanessa bangkit dari duduknya dan beranjak menuju ke kursinya yang semula. Dan saat itu ia baru menyadari bahwa Nathan mengambil kursi di sebelahnya. "Seminar siapa, Pak?"

Kuliah Tapi Menikah 🔞 "FIN"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang