"Dinda ..., sampai kapan coba kamu bakal diamin aku kayak gini?"
Tangan Vanessa yang semula bergerak demi untuk mengambil satu kaleng kornet di dalam kulkas, mendadak terhenti seketika. Layaknya ada bahaya dan alarm otomatis berbunyi, begitulah respon tubuhnya.
Vanessa merasa tubuhnya sontak menegang seketika. Ditambah pula dengan meremangnya bulu kuduknya. Membuat ia meneguk ludah. Kecepatan detak jantungnya sontak naik. Seakan ia sekarang tengah bersiaga.
Mengembuskan napas perlahan, Vanessa seolah baru mendapatkan kembali kesadaran. Seperti suara Ryan yang menyapa gendang telinganya tadi membuat ia tertarik ke alam bawah sadar. Membuat ia membeku, terdiam.
Tangan Vanessa kembali bergerak. Meraih kaleng kornetnya. Mengabaikan Ryan, gadis itu berjalan. Beranjak ke kitchen island. Pada mangkok yang telah ia isi dengan nasi hangat dan sambal botol.
"Sa ...."
Vanessa mengerjapkan matanya. Masih bertahan untuk mengabaikan Ryan layaknya cowok itu tidak ada. Padahal nyata sekali Ryan sekarang telah berdiri di hadapannya. Terpisah kitchen island, Vanessa lebih memilih untuk melihat kaleng kornet saja dibandingkan wajah memelas Ryan.
Mengatakan Ryan memelas bukanlah hal yang berlebihan karena memang hal itulah yang terjadi. Bermalam-malam tidur tidak nyenyak membuat wajah Ryan di Minggu pagi itu terlihat begitu letih. Bagai wajahnya menua sepuluh tahun lebih cepat. Sekarang Ryan terlihat seperti wajah bapak-bapak yang pusing memikirkan uang sekolah anaknya.
Menyedihkan sekali.
"Sa ...."
Vanessa tetap mengabaikan Ryan. Lebih dari itu, ia memilih untuk fokus membuka kaleng kornet di tangannya saja. Perutnya lapar. Dan mendapati Ryan di pagi harinya membuat Vanessa semakin merasa kelaparan.
"Sa ...."
Vanessa mengeraskan wajahnya. Jari telunjuknya menarik kait penutup kaleng kornet itu.
"Sa ...."
Mata Vanessa mengerjap.
"Sa ...."
"Awww!"
Kaleng kornet terlepas, setengah terbanting. Vanessa menjerit sakit. Ryan melotot seketika. Darah tampak menetes membasahi kitchen island.
"Vanessa!"
Vanessa tidak tau, entah apa pernah Ryan memanggil namanya seperti itu. Lengkap. Tanpa ada embel-embel Dinda atau Vanessayang. Namun, dengan intonasi yang membuat aliran darahnya menjadi menderas.
Sekejap mata, Ryan sudah berpindah tempat. Mengitari kitchen island, menghampiri Vanessa, dan meraih jari gadis itu yang berdarah.
Ryan menekan jari tengah Vanessa sementara gadis itu terlihat berusaha untuk menarik tangannya.
"Astaga, Sa. Jari kamu baru sembuh dan sekarang malah luka lagi?"
Vanessa mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Masih berusaha melepaskan tangannya. Tapi, Ryan masih tetap bertahan. Menyerah, akhirnya Vanessa bersuara pula.
"Lepasin, Yan!" sentak Vanessa.
Ryan yang tengah berusaha menghentikan pendarahan di jari Vanessa tertegun. Ia tau, bukan hal yang asing lagi mendapati suara kasar dan intonasi tinggi Vanessa. Tapi, yang ini berbeda. Suara Vanessa benar-benar menyiratkan rasa tak suka. Seolah jijik pada dirinya.
"Sa ...."
Bahkan Ryan sendiri pun bisa merasakan serak dan parau di suaranya. Lebih dari itu, Ryan sendiri pun merasakan bagai ada bongkahan besar nan pahit yang terasa menyumpal di pangkal tenggorokannya. Rasa pahit yang ingin ia usir sejauh mungkin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kuliah Tapi Menikah 🔞 "FIN"
RomanceJudul: Kuliah Tapi Menikah Genre: Romantis Komedi Manis (18+) Status: Tamat Cerita Kedua dari Seri "Tapi Menikah" Buat yang belum dewasa, sangat tidak disarankan untuk membaca! ********* "BLURB" Masa sih menikahi dosen sendiri? Yang benar saja. Riz...