Untuk beberapa saat, Ryan berusaha untuk tetap diam menunggu. Lagipula sebenarnya ia memang tergolong tipe cowok yang penyabar. Hanya saja, semakin lama waktu berlalu, menunggu menjadi hal yang melelahkan bagi cowok itu. Pada akhirnya, Ryan pun bersuara.
"Udah, Sa. Mau nunggu sampe kapan? Ini ujan pasti bakal berenti besok. Aku berani bertaruh deh."
Perkataan Ryan membuat Vanessa yang dari tadi mondar-mandir, berhenti. Wajahnya berpaling pada jam dinding di kamar cowok itu.
Ya ampun.
Udah hampir jam setengah sebelas malam?
Dan hujan belum berenti juga?
Boro-boro berenti, mereda pun nggak.
"A-aku bisa pulang pake taksi," kata Vanessa kemudian dengan suara yang sedikit terbata. "Ya. Aku pesan taksi aja."
Di atas tempat tidur, menyangga kepalanya dengan kedua tangannya di atas bantal, Ryan tersenyum menggoda.
"Orang waras mana yang masih mau narik taksi di saat hujan selebat ini? Risiko kecelakaannya nggak sebanding dengan foto pahlawan, Sa. Hihihihi."
Vanessa mengatupkan mulutnya.
Gadis itu tentu menyadari bahwa yang dikatakan Ryan benar. Orang waras tentu saja tidak akan melakukan hal tersebut. Tapi ....
"Buktinya aja ada kamu yang nggak waras!" tukas Vanessa. "Masa di luar sana nggak ada seorang pun sopir taksi yang nggak waras?"
Ryan mendengus geli. "Kamu mau dibawa lari sopir nggak waras?"
Vanessa diam.
Benar juga.
"Dah. Makanya aku bilangin. Bobok aja di sini."
Mata Vanessa melotot. Terutama ketika dilihatnya Ryan sedikit bergerak. Berganti posisi. Kali ini cowok itu membawa tubuhnya berbaring menyamping, menyangga kepalanya dengan satu telapak tangan sementara tangan yang lain mengusap-usap kasurnya.
"Sini deh. Udah Kanda bersihin kasurnya. Dijamin. Nggak bakal ada seekor semut pun yang bakal gigit kamu, Dinda." Ryan merasakan sudut bibirnya berkedut. Ada semacam desakan yang tak tertahankan. "Ya paling aku aja yang gigit-gigit manja. Hihihihi."
Vanessa membeku. "Kamu ini emang kalau ngomong nggak pake dipikir dulu?"
"Sorry sorry. Tapi, yang aku bilangin beneran loh, Sa," kata Ryan berusaha menahan kikiknya. "Daripada capek mondar-mandir kayak gitu dari tadi, mending bobok aja."
Perut Vanessa terasa bergejolak. Respon spontan dari ucapan Ryan. Terutama karena ketika mengatakan hal tersebut, Ryan turut mengedip-ngedipkan matanya berulang kali. Diselingi dengan senyum menggoda.
"Sini sini sini."
Vanessa bergidik. Sepertinya dingin malam itu semakin menjadi-jadi. Lalu, ia geleng-geleng kepala. Mengisyaratkan penolakannya. Namun, hal itu justru ditanggapi dengan makna berbeda oleh Ryan.
"Apa?" tanyanya. "Kamu nggak mau bobok?" Ryan menganga. "Terus kamu mau kita ngapain coba kalau nggak bobok?"
"Ry ... an ...!"
Ryan berusaha menahan tawanya. Menyadari bahwa candaan yang baru saja ia lontarkan langsung menyulut gadis itu.
"Va ... nes ... sa ...."
Kedua tangan Vanessa sudah mengepal di masing-masing sisi badan. Wajahnya sudah sangat memerah. Entah karena malu atau karena marah. Atau mungkin ... karena keduanya. Hihihihi. Entahlah. Yang pasti sedetik kemudian Ryan tertawa seraya bangkit duduk bersila.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kuliah Tapi Menikah 🔞 "FIN"
RomansaJudul: Kuliah Tapi Menikah Genre: Romantis Komedi Manis (18+) Status: Tamat Cerita Kedua dari Seri "Tapi Menikah" Buat yang belum dewasa, sangat tidak disarankan untuk membaca! ********* "BLURB" Masa sih menikahi dosen sendiri? Yang benar saja. Riz...