83. Satu Pertanyaan

1.3K 88 0
                                    

Suara siulan terdengar memenuhi koridor pagi itu. Bersamaan dengan langkah penuh keceriaan khas Ryan.

Pagi yang cerah setelah malam yang cerah.

Ha ha ha ha.

Jangan berpikir ke mana-mana dulu, nyatanya kebahagiaan itu karena Ryan merasa Vanessa begitu perhatian pada dirinya.

Nggak nyangka kan? Ternyata Dinda emang mikirin aku selama ini.

Hihihihi.

Aku sekarang berasa kayak yang jadi manusia paling bahagia sedunia.

Saking merasa bahagianya, Ryan merasa ledakan keinginan untuk melompat-lompat sepanjang langkah kakinya berjalan di koridor. Sambil menyanyikan lagu Tasya Kamila dulu, Aku Anak Gembala. Lalu, ups! Langkahnya terhenti seketika. Tepat di depan ruangan Vanessa.

Celingak-celinguk ke kanan dan ke kiri berulang kali, Ryan memastikan keadaan di lantai dua itu sepi. Kelas praktikum sudah dimulai sekitar setengah jam yang lalu dan tidak banyak mahasiswa yang ingin datang pagi ke kampus kalau tidak ada kelas.

Aman.

Lantas, Ryan pun mengetuk pintu ruangan Vanessa yang setengah terbuka itu.

"Masuk."

Suara Vanessa terdengar dan dengan senang hati Ryan pun masuk. Ketika ia masuk, ia mendapati pelototan mata Vanessa yang menyambut.

"Kamu masih berani ke sini?"

Ryan mengedip-ngedipkan matanya. Menutup pintu di belakang punggungnya. Terlihat berusaha menenangkan wanita itu dengan cengiran khas miliknya.

"Tenang aja, Sa. Tadi aku udah ngecek kok. Nggak ada orang."

Mata Vanessa semakin melotot tak percaya. "Tapi, bukan berarti kamu masih nekat datang ke sini, Yan," kata Vanessa mendelik. Ia bangkit dari duduknya. Menghampiri Ryan yang duduk di sofanya. "Kamu nggak takut kalau kepergok Pak Nathan lagi?"

Alih-alih memikirkan hal tersebut, Ryan justru mengatakan pendapatnya. "Justru aneh kalau aku mendadak langsung menghilang dari ruangan kamu, Sa. Itu berasa banget mencurigakan nggak sih?"

Vanessa menarik napas dalam-dalam. Berusaha menahan kesabarannya pagi itu.

Sabar, Sa, sabar.

Ngamuk di sini justru berbahaya untuk peradaban dunia.

"Karena itu, aku harus menghilang pelan-pelan. Kalau kemaren aku datang sehari sekali, nah! Sekarang aku bakal datang dua hari sekali."

Tangan Vanessa bergerak ke perut Ryan. "Alasan kamu aja."

"Eits!" Ryan menangkap tangan Vanessa. "Ini di kampus, Dinda. Nggak boleh pegang-pegang. Ntar kalau keterusan gimana coba?"

"Kamu ...."

"Udah ah. Nggak usah panik gitu." Ryan mengulum senyumnya. Lalu, bangkit. "Aku tuh cuma mau ngeliat kamu bentar. Ini sebenarnya aku tu mau bimbingan lagi sama Bu Fatma."

"Oh ...." Vanessa turut bangkit. "Tapi, ruangan Bu Fatma di lantai satu coba. Harus ya kamu naik dulu, udah itu baru turun lagi?"

"Hehehehe. Namanya aja cuma alasan."

"Kamu ini ...."

"Udah udah. Tenang, Sa. Ini aku pergi dulu ..." Mata Ryan mengerjap. Melihat sesuatu di atas meja kerja Vanessa membuat ucapannya terhenti di udara. Tangannya terulur dan mengambil benda itu yang tak lain adalah undangan resepsi pernikahan. "Siapa yang nikah, Sa?"

Vanessa melihat pada undangan itu. "Ehm ... itu undangan dari teman lama aku dulu," jawabnya datar.

"Oh!" Ryan membalik undangan tersebut. Melihat pada tanggalnya. "Minggu besok nih." Wajah Ryan terlihat begitu antusias. "Kita pergi, Sa? Aku temenin nih."

Kuliah Tapi Menikah 🔞 "FIN"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang