"Hadeeeh. Ini sebenarnya aku lagi kencan sama cewek umur dua puluh tujuh tahun atau sama remaja umur tujuh belas tahun sih? Ya kali segede ini masih pake acara kepleset."
"Nggak ada hubungannya sama sekali umur seseorang dengan kepleset."
"Ya emang. Tapi, tetep aja. Ya kali masa genangan air segitu gedenya nggak keliatan sih?" Ryan terkesiap. "Oh! Jangan bilang kamu terlalu fokus ngeliat wajah aku yang tampan nan rupawan ini."
"Plaaak."
Satu pukulan –yang tak terlalu kuat- mendarat di dadá diri Ryan. Membuat cowok itu mengaduh pelan. Sekilas. Tapi, bukan Ryan namanya kalau hanya sebatas itu ide di kepalanya untuk menggoda Vanessa.
"Tapi, ngomong-ngomong ...," lanjut Ryan lagi. "... aku jadi penasaran deh. Ini bukan semacam rencana terselubung kamu kan? Biar ada alasan buat digendong sama aku?"
"Ryan!"
"Vanessa!"
Ryan tergelak.
"Ah ...." Cowok itu mendesah seraya terus berjalan dengan Vanessa di punggungnya. "Jadi, gimana rasanya, Dinda? Enak digendong Kanda kayak gini?"
Kekehan Vanessa keluar dari bibirnya. "Biasa aja tuh."
"Ehm ...." Ryan mencibir. "Ck. Emang salah aku juga sih. Udah tau kamu itu gengsian buat ngakuin perasaan, eh ... malah aku tanyain."
"Plaaak."
Ryan terkekeh. Mendapati dadanya kembali dipukul gadis itu. Namun, setelahnya Ryan memutuskan untuk tidak menggoda Vanessa lagi. Tenaganya sudah hampir terkuras karena tertawa, berlarian, dan sekarang menggendong gadis itu. Kalau masih dilanjutkan dengan acara bercanda, ehm ... mungkin cowok itu akan kehabisan tenaga sebentar lagi.
Ryan menghentikan langkah kakinya di dekat kran. Menurunkan Vanessa dengan hati-hati. Memastikan bahwa gadis itu bisa berdiri dengan baik.
"Nggak ada yang sakit kan?" tanyanya seraya jaga-jaga. "Ada yang berasa sakit nggak? Kaki kamu? Atau tangan kamu?"
Vanessa tampak mengerutkan dahi ketika mencoba merasai seluruh tubuhnya. Ia menggeleng pelan.
"Kayaknya nggak ada sih."
Ryan mengembuskan napas lega. "Ya udah. Kalau gitu, kamu bersihkan dulu badan kamu."
Vanessa melihat ke kran itu. Lalu ia menyadari kalau celananya memang sangat kotor. Memang harus ia bilas. Kecuali kalau ia ingin seharian membawa tanah becek ke mana-mana.
Ugh!
Dan Vanessa masih berpikir bagaimana caranya agar dia bisa membilas semua tanah itu di sekitaran bokοng dan pahanya, ketika suara Ryan terdengar mengalihkan perhatiannya.
"Ehm ... kamu nggak butuh bantuan aku kan buat ngebilas tanah di bokοng kamu?" tanya Ryan. "Soalnya ...."
Lalu, entah apa yang dipikirkan cowok itu sampai-sampai ia mengangkat kedua tangannya dengan posisi sedikit tertekuk. Mungkin dia sedang membayangkan kalau tangannya memegang ....
"Plaaak!"
Vanessa spontan memukul kedua tangan Ryan.
"Aduh."
Ryan berseru kesakitan. Yang tadi itu benar-benar menyakitkan cowok itu. Menyakitkan sekaligus mengagetkan. Tapi, ketika ia akan protes, Vanessa langsung mendelik.
"Meśum kan pikiran kamu?"
Bibir Ryan seketika cemberut. Lalu geleng-geleng kepala dengan manyun. "Nggak."
Mata Vanessa tetap mendelik. "Mikir kotor siang-siang kayak gini ... ck, dasar otak mesum."
Masih dengan cemberut, Ryan bertanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kuliah Tapi Menikah 🔞 "FIN"
RomanceJudul: Kuliah Tapi Menikah Genre: Romantis Komedi Manis (18+) Status: Tamat Cerita Kedua dari Seri "Tapi Menikah" Buat yang belum dewasa, sangat tidak disarankan untuk membaca! ********* "BLURB" Masa sih menikahi dosen sendiri? Yang benar saja. Riz...