"Hahaha! lihat si muka babi itu kerjaannya hanya menghalu saja!"
"Shtt, hati-hati takutnya dia sudah gila karena terlalu menyukai fantasy-nya."
'Orang-orang bodoh, aku bisa mendengar kalian tau...' batin seorang gadis kecil yang membaca novel fantasy kesukaannya. Memang setiap hati juga begini, kenapa tidak lapor ke kepala sekolah?
Sudah pernah ia lakukan, bahkan sampai mamanya melabrak sang kepala sekolah sendiri. Tapi tidak ada hasilnya. "eh (Y/n) kami duluan ya... mau kekantin soalnya," Ujar Dewita dengan senyuman canggung.
"Iya duluan saja gak apa-apa kok," balas (Y/n) berusia 13 tahun sembari memberikan senyuman pada mereka. (Y/n) melihat kepergian mereka berempat dengan senyuman masih menghiasi wajahnya.
"Psst, senyumannya aneh ya," perkataan itu (Y/n) dengar sangat jelas diucapkan salah satu 'temannya'. "Diam dong, nanti dia dengar," bisik 'temannya' yang lain.
'Memang kalau berteman berlima itu pasti ada yang tertinggal ya...,' batinnya dengan wajah datar. Gadis remaja itu kembali melirik kearah buku yang ada pada tangannya. Andai saja dunia fantasy nyata, apa semua akan berbeda?
Kini (Y/n) berusia 15 tahun berdiri dihadapan sebuah ruangan dengan secarik kertas di tangannya. Gadis itu memberanikan mengetuk pintu ruang klub itu. "Silahkan masuk." Suara tersebut membuat (Y/n) tanpa ragu memasuki ruangan tersebut.
"Mau daftar kah?" Tanya kakak kelasnya menatap (Y/n) penuh harapan. Gadis bersurai (H/c) mengangguk dengan mantap. "Baiklah, role apa yang ingin kamu ambil?"
"Narator saja kak."
Ternyata masa SMK sangat menyenangkan. (Y/n) mendapatkan beberapa teman yang tidak memandangnya dari penampilan atau apapun. Tapi semua itu sirna ketika dia pulang kerumah.
Prang!
Sebuah gelas kaca mengenai kepala (Y/n) dan pecah saat ia membuka pintu rumahnya. "(Y/n)..., Key! ambilkan kotak obat cepat! Lihat karena perbuatanmu anakku jadi terluka!" Seruan mamanya terdengar ditelinga (Y/n).
(Y/n) menepis tangan mamanya dengan pelan, remaja itu memberikan senyuman pada ibunya. "Aku ngak pa-pa kok ma, mama ngak perlu khawatir." Setelah mengucapkan itu (Y/n) langsung pergi kekamarnya.
Dia mengelap darah yang mentes menggunakan tisu yang berada disana. "Kak, ini aku bawakan kotak obat," suara adiknya terdengar dari balik pintu. (Y/n) membuka pintu kamarnya dan melihat kedua adiknya menatap (Y/n) dengan tubuh yang bergetar.
Tanpa mengucapkan apapun (Y/n) langsung menarik adiknya masuk. Saat pintu telah tertutup dia memeluk mereka dengan erat. "Setelah aku bekerja... aku akan membawa kalian keluar dari sini," Ucapan (Y/n) membuat kedua adiknya menangis dalam pelukannya.
Sekali lagi (Y/n) memberikan senyuman manis, tangannya mengelus kepala adik-adiknya. "Semuanya akan baik-baik saja," ujarnya dengan pelan.
"Hiks... pa bangun pa!" suara terikan mamanya terdengar menggelegar diacara pemakaman itu. Kedua aniknya sudah menangis tersedu-sedu disamping mamanya. Mata (E/c) sang remaja itu sendiri sudah berair.
Tapi tidak setetes airpun jatuh membasahi pipinya. Kata-kata mamanya selalu terngiang dikepalanya setiap kali (Y/n) ingin menangis. 'Menangis hanya untuk orang lemah.' Perkataan itu sampai sekarang menghantui dirinya.
Didalam hati (Y/n) tertawa melihat ekspreksi sedih mamanya'dasar lemah,' batin (Y/n) merasa kesal dengan sikap sang mama.
Angin berhembus dimalam yang dingin itu, kantong belanjaan terlihat terletak tidak jauh dari (Y/n). Remaja itu melihat kebawah dengan tatapan kosong. Ingin sekali ia melangkahkan kakinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐽𝑒𝑤𝑒𝑙𝑒𝑑 𝑒𝑦𝑒𝑠
FanfictionMenjadi seorang pembaca ORV, (Y/n) tidak dapat menerima apa yang menjadi akhir dari novel tersebut. Setidaknya karena itu dia membuat seorang karakter yang bernama Min Hanna. Menjalani hidupnya seperti biasa, tanpa (Y/n) sadari ia telah memasuki ker...