Jam dinding digital menunjukkan pukul 02.17. Di dalam kamar rawat inap, disamping ranjang dimana Melati tertidur, di kursi yang tak terlalu tinggi, pria muda berwajah lelah itu tak ingin mata beratnya menutup. Kedua tangannya melipat di sisi ranjang, jarinya mengusap sisi bahu Melati sesekali. Yuza menunduk, sisi wajahnya menyandar pada lengan, matanya sudah sangat berat untuk membuka penuh.Kala mata itu menutup sekitar tiga detik, segera mata itu membuka kembali seolah tak ingin hilang kontrol. Yuza tak mau tidur walau seharian dirinya hanya tidur tiga jam.
"Tidur, Yuza. Biar mamih yang jaga," ucap Sara dengan tubuh terbalut mukena hitam seolah ditaburi kristal kecil di permukaan.
"Coba merenung, dipikirkan baik-baik. Memang apa saja dampak buruknya? Apa saja, sih, dampak baiknya? Kalau semisal kamu terus tidak mau punya anak, istri kamu akan bahagia, kah? Akan, kah, Melati kuat nahan semua ini di seluruh hidupnya yang maasiih panjang? Hmmm?"
"Mamih yakin, kalau sebenernya udah diusahain, Melati tahu, terus emang hasilnya mentok, Melati pasti ga gini, kok. Istri kamu itu wanita baik, baiik sekali." Sara menatap setengah kecewa pada anaknya. Ia menghembuskan napas besar seiring mengusap helai rambut anaknya di sisi kening itu.
"Mamiih,..?" Gumam Yuza sangat lambat untuk menatap ibunya.
"Mamih tahu, Yuza. Melati cerita, Sharon juga ceritain apa yang dia tahu dari Kevin," jawab Sara paham apa yang anaknya herankan.
"Sini, ngadep sini."
Yuza memutar tubuh seadanya dan kursi yang ia duduki. Kini ia membelakangi sang istri, ia juga menjauh sesuai permitaan ibunya dengan tujuan tak ingin Melati terganggu apalagi sampai terjaga.
Sara duduk di sofa yang tak terlalu tinggi di hadapan Yuza. Ia raih tangan besar anaknya, ia genggam lembut.
"Mamih ada kisah nyata, kisah nyata papihnya kamu, kisah mudanya suami mamih. Hehe."
Yuza sebisa mungkin memperhatikan ibunya yang siap bercerita lama. Mata beratnya tiba-tiba bisa membuka cukup lebar dari sebelumnya.
"Duluu,.. papih itu trauma buat nikah, apalagi sampe buat punya anak. Waktu itu ada Jennifer yang jebak papih sampe Jennifer hamil anak papih tanpa papih harapkan sama sekali. Tapi saat darah daging papih hadir, darah daging yang tidak pernah papih harapkan sama sekali sebelumnha, papih bisa sayang! Bahkan sejak bayi itu masih sebagai janin di dalam perut. Papih menunggu janin itu untuk lahir, papih menjaga bayi itu sendirian, hingga bayi itu tumbuh, menjadi balita, lalu sampai akhirnya papih bertemu mamih dalam keadaan anak satu," ucap Sara mengusap dua tangan besar anaknya seiring memandang mata itu dengan penuh kelembutan.
"Anak itu adalah rezeki yang indah. Menikah dan merawat anak itu keduanya sama-sama ibadah paling lama," lanjutnya memberi senyuman.
Kepala Yuza sedikit menyamping, tatapannya turun ke bawah dengan lemah. Terlihat sekali pikirannya sangat kalut.
"Kalau memang childfree-nya atas dasar kemauan kalian berdua, kita semua ga akan ada yang berani ikut campur. Ga akan! Tapi ini, ini berbeda. Ada yang harus mamih luruskan, ada yang harus kamu ketahui lebih banyak lagi, ada sudut pandang kamu yang perlu dirubah! Karena sebetulnya tidak ada alasan lebih!" Ucap ibu dari Yuza itu mendapat anggukan dari Yuza seolah sudah paham dan sangat dapat dimengerti penjelasannya.
Pria muda itu tak lagi duduk tegap. Ia biarkan ibunya mendekap, ia balas pelukan ibunya dengan seerat mungkin.
"Mamih yakin seratus persen meskipun kamu punya anak, kebahagiaan kamu, kisah cinta kalian, tidak akan berkurang kadarnya. Justru yang ada, kalian akan merasakan kebahagiaan yang lebih, apalagi dengan berusaha menjadi sosok orangtua yang baik."
KAMU SEDANG MEMBACA
Melati's love story [TAMAT]
General FictionMelati si cantik, sangat cantik. Si baik, sangat sangat baik, mungkin terlalu baik, namun miskin dan juga menderita, disandingkan dengan si tampan emosional, bergelimang harta, dan penuh kesenangan hidup. Melati sama sekali tidak tahu menahu diriny...