Pagi hari, pukul lima, masih dalam suasana gelap. Di ruangan dapur yang luas dengan penutup kaca jendela dan penutupnya yang dibuka, Melati disibukkan dengan aktifitas memasaknya. Tidak hanya sibuk memasak saja, Melati pun disibukkan oleh anak semata wayangnya yang begitu lincah bermain, selalu ingin mengambil peran dalam acara memasak ibunya.
Wanita cantik dalam balutan dress rumahan itu berjalan dari kompor menuju wastafel tuk mencuci sayur, lalu beralih pada oven di bawah, memeriksa makanan di dalam sana, lalu beralih membuka tutup panci, mengocek sop di dalamnya, lalu wanita cantik berwajah bantal itu mulai mengecek wajan berisi cah kangkung, tak lupa mencobanya apakah sudah matang atau belum.
"Huufth! Sambelnya belom."
"Ndaa, iniiih! Inih mauuu," ucap Juara mulai bisa berucap jelas, walau aksen cadelnya tak bisa hilang. Ia menarik dress sang ibu dengan satu tangan mengangkat keler berisi gula merah bubuk.
"Iniih! Ndaaa!" Rengeknya tak sabar.
Juara begitu menggemaskan dalam balutan kaos overall bercelana pendek. Kancing baju berjajar dari leher hingga depan perut. Bagian kemaluannya masih dipasang benda mengembung.
"Eiihh,.. saayaang. Apa, nak? Mau inii? Bunda ambil, ya, kelernyaa. Biar bunda buka! Hehe."
"Juara udah mulai makin betul, yaa, bicaranyaa. Anak pinternya bundaa!" Ucap Melati berjongkok membuka wadah. Di belakang anaknya ada dua suster yang hanya diberi tugas menjaga Juara, tidak boleh membantunya memasak.
"Hihi. Iniiih, ennnak!" Ungkap Juara berseri menerima satu sendok gula di telapak tangan.
"Iya, ya?! Hehe. Eennak! Enak baanget!"
"Hihi. Waya sukaa!" Ucap cadel Juara tak bisa hanya diam, melainkan kedua kakinya menginjak semangat, bibirnya tersenyum lebar.
"Sini cium bunda dulu! Mmwah!"
"Mmwah!"
Melati meraih tubuh anaknya, ia sengaja mendekatkan pipi dan menutup mata. Juara dengan begitu ceria menangkup wajahnya, memberinya banyak kecupan di bibi, pipi, hingga kening. Suara kekehan Juara membuatnya mendengus bahagia.
Juara terkekeh manja dan malu-malu. Ia cubit dua pipi ibunya, ia kecup bibir sang ibu, kedua kakinya berjinjit kian naik turun berulang kali. Kala semburan tawa ibunya pecah, bocah tampan berusia tiga tahun itu menjerit menekan pipi sang ibu sebagai tanda kesal.
"Iih! Tangan awwaa!" Jerit kesal Juara membekap bibir ibunya.
(Iih! Jangan ketawa)
"Aahahaha! Aahaha! Ada-ada ajaaa! Anak gemoy! Si pinter ganteng soleh cakeuup! Si kesayangan bunda!" Pekik manja Melati mendekap sang anak, mengguncang pelukannya dengan gemas hingga kaki sang anak menjauh dari lantai.
"Mwah! Mwah! Anaknya bunda ngambekkan yaa ternyataa! Bunda makin gemes jadinyaa. Kayak daddy Yuzaa. Kayak daddy-nyaaa!" Ungap Melati duduk di atas lantai, memundurkan bahu kebelakang, mendekap posesif anaknya.
"Iih! Na auuu! Leppaas!" Rengek Juara tampak kesal walaupun tak membentak. Wajah tampan menggemaskannya mulai cemberut.
"Uuuu u u uuu. Maafin bunda dong. Oke-oke-oke? Hihi. Mwah!"
"Sini, bunda kasih lagi gula. Sedikit-sedikit tapi, yaa. Nanti kalau banyak makan gulaa, bisa bahaya." Melati mulai membuka keler, mengambil satu sendok kecil gula merah bubuk.
"Aaa? Ayaa." Juara meminta dikoreksi. Tangan mungilnya membuka.
"Baaa,.. haa,.. yaa. Begitu, anakku cintaa," ucap Melati memberi usapan gemas di pipi sang anak. Suasana dapur mulai semakin cerah, matahari mulai menampakkan diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melati's love story [TAMAT]
General FictionMelati si cantik, sangat cantik. Si baik, sangat sangat baik, mungkin terlalu baik, namun miskin dan juga menderita, disandingkan dengan si tampan emosional, bergelimang harta, dan penuh kesenangan hidup. Melati sama sekali tidak tahu menahu diriny...