Flashback 1 minggu yang lalu.
Sarip berjalan gontai memasuki rumahnya dibantu Adit yang memapah. Matanya merah, mendung, wajahnya begitu lesu. Perlahan ia duduk sesuai arahan Adit, ia terima segelas air kemasan dari anaknya.
Adit duduk menghadap pada Sari. Airmata Sara menetes kala mengedip. Adit juga sedih, Adit hanya yakin saja kakaknya akan selamat. Melihat bagaimana Yuza begitu berani, sangat memiliki banyak keahlian, Adit yakin kakaknya selamat.
"Melatii, pulang, sayaang. Anaknya bapak Sariip." Sarip menunduk mengusap naik turun pahanya.
"Melatii Indah, anaknya bapak udah makan, belum, naak? Hmm? Bapak kangen makan suapin Melati, kangen disuapin Melati juga." Sarip menggeng, dirinya tak bisa henti meracau.
"Sini, sayaang, si cantik, solehaa. Hiks. Hiks."
"Pak, ga boleh gini, pak. Kak Mel pasti sedih kalo tahu bapak kayak gini."
"Adit, Diiit! Bapak tu masih belum bisa bahagiain kakak kamuu. Hiks. Sekarang dia malah ga ada. Bapak ga bisaaa." Sarip menggeleng frustasi.
Adit mendekap erat ayahnya. Airmata menetes seiring Sarip terus meraung memohon pada Tuhan. Adit sendiri sangat sedih. Membayangkan Melati menggigil seperti waktu lalu, itu membuat Adit tak bisa tenang.
Siti melipat bibir, matanya melotot marah dengan mata berkaca-kaca. Dua tangan Siti mengepal kuat seiring berdiri memunculkan setengah tubuhnya dibalik dinding pintu.
"Makan dulu, bang, Dit!" Tegur Siti berjalan melewati Sarip dan Adit tuk memasuki dapur.
"Hhh! Hhhh! Hhhh,.. gua ga lapar, Tii." Sarip menggeleng lemah. Tubuhnya menyandar bebas pada sofa besar.
"Meeel,.. anak cantiik."
Siti mengerling dengan napas yang berat. Di depannya sudah ia siapkan beberapa mangkok di atas nampan untuk ia sajikan di ruang makan. Cemburu? Sangat! Sungguh Siti tak habis pikir akan ulah suaminya.
Melangkah keluar dari dapur, Siti menatap sesaat pada suaminya di sana. Ia menjauh begitu saja tuk membawa nampan menuju ruang makan.
"Kak Mel pasti balik, pak. Bapak yang tenang." Adit memijit lengan besar Sarip.
"Bang, nasinya dah siap," ucap Siti duduk di samping Sarip, memberi genggaman lembut.
"Sana makan dulu, Dit. Biar bapak sama ibu aja," lanjut Siti segera Adit beri anggukan. Segera Adit pindah ke ruang makan yang masih satu ruangan dengan ruang kumpul.
"Sitii, anak guaa. Aaaa! Hiks."
"Iye, baang, iyee. Budak lo pasti balik, kok." Siti mengusap bahu suaminya. Sedikit gusar dirinya kala berucap.
"Kalo dia meninggal, lu maapin die, kan, Siit? Hiks. Hiks." Sarip menyamping lemah, menarik lengan istrinya tuk ia dekap. Ia semakin tumpahkan tangisnya di sana.
"Makan, baang. Lu bisa ga sehat. Ga baek juga lu nyiksa diri," ucap Siti menghembuskan napas besar sembari terus menggeser merapatkan tubuh.
Siti melipat dalam kedua bibir. Ia biarkan suaminya terus memanggil nama sosok yang paling ia benci di dunia. Bagaimana pun suaminya sedang bersedih.
Semakin Sarip meraung, semakin pikiran Siti kosong. Berat rasanya untuk Siti melunakkan hati pada Melati. Tapi untuk bersyukur saat gadis itu mati, Siti tidaklah sekejam itu.
'Tok tok tok!!'
'Tok tok tok!'
"Assalaamu'alaikuum! Pak Sarip, bu Siti!" Panggil seorang pria paruh baya dengan setelan kemeja batik dan celana kerja sopan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melati's love story [TAMAT]
General FictionMelati si cantik, sangat cantik. Si baik, sangat sangat baik, mungkin terlalu baik, namun miskin dan juga menderita, disandingkan dengan si tampan emosional, bergelimang harta, dan penuh kesenangan hidup. Melati sama sekali tidak tahu menahu diriny...