24. Ditolak... 💔

3.2K 420 134
                                    

Satu minggu kemudian.

Suasana sore hari di desa dengan tatanan rumah kayu kuno ini begitu tenang. Tak ada banyak kendaraan, tak ada suara dari benda elektronik, hanya ada satu tv cembung kuno di tempat pertemuan warga, dan tv itu tak menyala.

Gadis cantik berbalut kain samping sebagai rok dan kemeja bunga-bunga kolot itu meringkuk di tengah pintu, kepalanya menyandar pada kusen. Melati merenung sejak satu jam lalu. Sarapan yang pemilik rumah kayu mungil ini hanya ia makan beberapa suap saja, dirinya tak bergairah.

"Ayo pulang, tuan. Melati ga bisa lebih lama lagi di sini," lirih Melati kala tahu kaki jenjang itu melangkah mendekat. 

"Aku harus cari kerja dulu, Melati." Jawab Yuza lembut.

Yuza berdiri dengan penampilan khas lelaki desa jaman dulu. Kini dirinya memakai sarung, atasannya kemeja berwarna pudar. Ditatapnya Melati dengan sabar.

"Dari kemarin cari kerja terus. Tuan Yuza bukannya udah punya dua kerjaan?!" Desak Melati memutar tubuh, mendongak muak bercampur pasrah.

"Gajinya sedikit, Melati. Aku harus bayar sewa motor dan naik mobil umum buat sampe ke pusat kecamatan. Di sana aku sewa telfon orang." Yuza melangkah perlahan, lalu duduk sila di depan Melati. Jalanan pintu tertutup oleh mereka.

"Kita juga harus kasih uang jaminan kalau nanti aku ke pusat kecamatan. Nenek takut aku kabur," lanjut Yuza meraih dua tangan itu.

"Tuan Yuza yang salah! Tuan Yuza larang Melati kerja!" Sembur Melati menarik kedua tangan.

"Tuan Yuza selalu keras kepala, tuan selalu bantah ide Melati!"

"Aku bantah, karena emang itu salah, Melatii!" Lirih Yuza dibuat frustasi. Keningnya mengkerut tak habis pikir. 

"Iya! Melati emang bodoh! Melati lulusan SMP, sedangkan tuan Yuza S1 S2 lulusan kampus nomor satu dunia! Ide-ide Melati semua jelek, semua salah!" Bentak Melati melotot marah dengan suara kecil. Matanya berkaca-kaca kala berpandangan lama dengan dua mata itu.

"Kamu lagi sakit, Melati! Kamu lagi lemah! Semua kerjaan disini pake otot!!" Bentak Yuza berdiri menunjuk geram.

"Hiks. Hiks. Baapaaak! Hiks. Mau puulaaang. Hiks." Melati mendongak, menangis dengan cebikan menyedihkan di bibir.

"Melati, tolong! Tolong jangan keras kepala kayak gini. Aku pusing, aku cuman ga bilang aja." Yuza meringis sedih. Napasnya mulai berat, matanya begitu kayu.

"Hiks. Hiks. Hiks. Gimana kalo ga pulang seumur hiiduup. Hiks. Hiks."

"Tuaan. Huu. Melati rindu bapak, rindu Adit. Hiks. Hiks." Melati mulai membuka mata. Ia angkat tangannya untuk Yuza genggam. Yuza berlutut dengan manis.

"Sssut! Sssut! Iya, Melati, iya. Aku tahu perasaan kamu. Aku tahu kamu ga kuat," ucap Yuza menarik Melati ke dalam dekapan. Ia usap punggung mungil ini selembut mungkin.

"Hiks. Maaf. Hiks. Maaf suka bentak-bentak tuaan.. Melati ga maksud. Melati ga kuaat. Hiks." Melati menggeleng sedih. Ia daratkan pipinya diatas bahu Yuza. Tangannya mengusap pada sedikit punggung Yuza.

'Cuup.'

Mata Melati menutup lembut, bibirnya melengkung sedih. Ia terima kecupan di pucuk kepalanya. Justru Melati merasa terbantu dengan kecupan hangat ini. Melati dibuat tenang.  

"Maaf aku kasar sama kamu, Melati." Yuza menutup mata, menghirup wangi tubuh yang ia dekap erat ini. 

"Enggak, tuan, hiks. Melati salah, Melati bentak duluan."

Melati's love story [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang