Dua Pria Berbeda Karakter

4.2K 91 1
                                    

"Hei, pak tua!" -mengejar, berteriak- "kamu pura-pura tuli? hei ..." Kahiyang semakin kesal karena tidak di gubris pria itu. Ia terus mengejar sampai Senior lobby yang cukup ramai. Kahiyang menghentikkan langkahnya, karena semua orang melihatnya.

"Sial!" Kahiyang kembali ke area parkir sambil terus menggerutu. "Gimana bisa aku keluar dari sini?" tanyanya sambil mondar mandir melihat mobilnya lalu mobil pria tua itu.

"Seenaknya mengatai orang. Tidak sopan! guru macam apa itu!" Kahiyang masih menggerutu. Ia pikir pria tadi seorang guru, karena memasuki pintu Senior lobby.

Akhirnya Kahiyang memesan taksi online. Ia mengambil tas lalu mengunci mobilnya. Kahiyang meninggalkan sekolah itu. Persetan urusan mobil. Siang ia bisa kembali kesana.

Semoga siang nanti, mobil si pria tua menyebalkan itu sudah pergi. Batin Kahiyang.

"Halo, Pa," sapa Kahiyang. Papanya Rozi menelfon.

"Sudah dimana? sudah antar adik-adik kan?" tanya Rozi.

"Iya, sudah Papa. Kahi on the way rumah sakit," balas Kahiyang.

"Oke, Papa tunggu," ujar Rozi, lalu telefon itu dimatikan.

Kejadian pagi tadi masih saja terlintas di pikiran Kahiyang. Pengalaman yang sungguh menyebalkan. Hanya soal parkir saja, ia sudah di hakimi oleh orang yang tidak dikenal.

'Orang Indo tapi gaya bahasa kebarat-baratan, dan tidak memakai otaknya. Modal cantik tidak cukup, Nona, kalau kelakuan kamu tidak sopan seperti ini,'

"Argh ... it's really annoying!" Kahiyang geram, merasa sangat menyebalkan mengingat ucapan pria tua tadi.

"Ada apa mbak?" tanya sopir taksi online, ia pikir Kahiyang marah padanya.

"Hah?? Ada apa, apa pak?" tanya Kahiyang tidak mengerti.

"Oh ... maaf. Saya salah kira. Saya pikir tadi mbak marah-marah dengan saya," jawabnya sambil menggaruk kepala. Sedangkan Kahiyang sedikit menunduk mengusap pelipisnya, setelah mendengar jawaban si sopir.

Kahiyang masuk ke dalam rumah sakit, menuju lantai 3 dimana ruangan Ayahnya berada. Tanpa senyum, ia terus melewati setiap lorong. Semua kagum melihat kecantikannya tapi sayang, angkuh. Kahiyang hanya sebatas menyapa tanpa senyuman.

"Lihat siapa yang lewat tadi, kan? anak Dokter Rozi yang kuliah di Inggris. Ya ampun, sombongnya bukan main. Nggak pernah senyum," ucap salah satu petugas medis yang sedang berjaga.

"Iya bener. Cantik sih, tapi sombong buat apa? sia-sia," temannya membalas.

Kahiyang tetap lah Kahiyang yang seperti ini. Angkuh. Ia tidak mau di pandang remeh, apalagi di kasihani. Ia akan terus seperti itu.

"Papa ..." sapa Kahiyang setelah pintu ruangan Ayanya dibuka oleh seorang asisten.

"Sayangku," merentangkan kedua tangan. Kahiyang menyambutnya, menerima pelukan hangat dari sang Ayah. Kemarin ia tidak bertemu, Rozi pulang malam dan pagi sekali sudah kembali ke rumah sakit.

"Papa sudah sarapan?" tanyanya. Kahiyang duduk di sofa bersama Rozi.

"Sudah, tadi Mamamu kirim sarapan," jawab Rozi.

"Ah so sweet ... Mama Papa memang the best," mengacungkan dua jempolnya sambil tersenyum. Senyuman manis itu, hanya keluarganya saja yang melihatnya.

"Makanya kamu cepat menikah. Biar bisa kayak Mama dan Papa," ledek Rozi. Kahiyang langsung mencebikkan bibirnya.

"Kahi masih dua puluh tahun, Papa. Enggak ah. Kahi mau lulus kuliah dulu, mau fokus sama impian Kahi, Pa" tolaknya.

"Masalah itu semua gampang, nak. Memiliki orang yang kita sayangi, yang bisa mensupport kita, justru buat kamu bisa gapai impian-impian kamu. Percaya sama Papa!" sanggah Rozi. Rozi ingin yang terbaik untuk putri sulungnya.

"Enggak ah ... malah bikin tambah pusing kalau ada pasangan. Kahi nggak bisa ini itu. Nggak bebas!" timpalnya. Bagi Kahiyang, pasangan justru akan menghambat langkahnya.

"Nak ... Papa mau yang terbaik buat kamu," terang Rozi. Ia khawatir dengan selentingan-selentingan orang yang berbicara buruk tentang putrinya. Padahal dirinya yang melakukan kesalahan tapi Kahiyang yang terus di caci.

"Papa khawatir Kahi nggak ada pasangan sampai tua?" tanyanya spontan. Rozi mengangguk.

"Makanya Papa minta kamu kesini, Papa mau kenalkan seseorang. Dicoba dulu. Jangan bilang nggak mau kalau belum ketemu dan ngobrol-ngobrol!" papar Rozi. Akhirnya ia lega, sudah mengatakan maksud hatinya.

"Ah ... Papa nggak asik banget. Tau sendiri Kahi gimana kalau sama laki-laki," Kahiyang merengek sambil merebahkan badannya ke sofa. Rozi tertawa.

"Coba tingkah kamu yang lucu ini dilihat orang, mereka pasti suka. Nggak sok pasang wajah jutek!" Rozi justru membalas dengan ledekan.

Saat mereka sedang berdebat, seseorang mengetuk pintu.

"Nah ... itu orangnya. Sebentar, nak!" Rozi membuka pintu. Masuklah seorang pria muda tampan dengan jas putih khas dokter.

"Nak, ini Bumi. Dokter muda lulusan UI," ujar Rozi memperkenalkan pria muda itu pada Kahiyang.

Ya ampun Papa. Batin Kahiyang. Menatap Ayahnya dengan mengerutkan kening. Rozi langsung merangkul bahu Kahiyang, meremasnya sedikit.

Kahiyang menurut, mengulurkan tangan.

"Kahiyang," ucapnya.

"Bumi," balasnya.

Kahiyang hanya diam mendengarkan Ayahnya berbicara ini itu. Bumi sama cerewetnya.
Perkenalan itu tidak berlangsung lama. Bumi sudah harus masuk ke ruang oprasi.

"Nanti kalian makan siang bersama. Papa sudah pesankan tempat di cafe rumah sakit," ucap Rozi. Kahiyang menatap Ayahnya lagi.

"Baik, dok. Lunch nanti, saya jemput Kahiyang disini," ucap Bumi.

"Nggak perlu! Langsung di cafe saja," tolak Kahiyang. Bumi mengangguk.

Setelah Bumi pergi, Kahiyang mengomeli Ayahnya.

"Papa kenapa harus lakukan ini? Jangan paksa Kahi, Pa!" sungut Kahiyang.

"Papa ingin kamu kenal sama laki-laki. Selama ini Papa nggak pernah dikenalkan teman spesial kamu. Jangan menutup diri, nak!" ucap Rozi lembut, merangkul putri sulungnya lagi.

"Papa tau alasannya apa," jawab Kahiyang. Latar belakangnya yang sudah diketahui banyak orang itu, membuat hubungannya dengan laki-laki tidak pernah terwujud.

"Maafkan, Papa. Karena kesalahan Papa di masa lalu, anak Papa yang kena imbasnya," ucapnya, mengusap lengan kiri putrinya yang masih ia rangkul. Kahiyang diam.

Dan siang itu, Kahiyang menuruti semua yang direncanakan oleh Ayahnya. Lunch di cafe rumah sakit, lantai dasar.

Kahiyang menghormati Ayahnya dan juga menghargai keberanian Bumi.

"Kata dokter Rozi, kamu kuliah di London," ujar Bumi.

"Iya." jawab Kahiyang, lalu memasukkan salad ke dalam mulutnya.

"Kenyang makan salad aja?" tanya Bumi.

"Sudah biasa," jawab Kahiyang singkat lagi.

Makan siang yang terbilang singkat dan Kahiyang hanya menjawab seperlunya saja tanpa mau ingin tahu latar belakang Bumi seperti apa.

Bumi yang memang sudah diberi tahu Rozi akan dikenalkan pada putri sulungnya, berusaha mengorek informasi dua hari sebelum pertemuan makan siang tadi. Reaksi Kahiyang datar, karna ia sudah bisa menebak saat Bumi berbicara. Pria di hadapannya tadi berniat lebih jauh lagi. Bukan hanya sekedar mengenal.

"Sial! Angkuh banget! Sombong! Pelit ngomong!" cibir Bumi setelah mengantarkan Kahiyang di lobby rumah sakit.

Kahiyang tersenyum kecut mengingat hari ini ia bertemu dua pria yang berbeda karakter. Bumi, pria muda yang ramah dan banyak bicara. Sedangkan satu pria lagi yang belum ia ketahui namanya, pria tua sombong dan judes.

To Be Continued...

ScandalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang