Menara Eiffel

826 36 12
                                    

Hari kedua di Paris, Satria membawa putrinya ke Disneyland. Seharian, Satria dan Hanna mengelilingi area luas itu. Hanna terlihat begitu senang. Seakan rasa kecewa yang dirasakannya terobati.

Disneyland Resort Paris adalah sebuah kompleks hiburan bertema Disney yang terletak di Marne-la-Vallée, Paris, sekitar 30 km di timur Paris, Prancis dan bisa dicapai dengan mobil dan RER. Stasiun kereta yang terletak di tempat tersebut juga dilayani oleh TGV, Thalys, dan Eurostar dengan 2 buah taman bermain, Disneyland Paris dan Walt Disney Studios.

"Papa, Hanna mau itu," tunjuknya pada sebuah topi minnie mouse.

Satria yang sedang menggendong Hanna karena putrinya kelelahan, menurut saja.

"Hanna mau dua, Papa," pintanya.

"Dua?" tanya Satria.

Hanna menganggukkan kepala. "Satu untuk Hanna, satu lagi untuk kakak cantik," jawabnya lalu tersenyum sangat manis, seolah sedang merayu Satria.

"Baiklah," Satria mengabulkan permintaan Hanna. Toh nantinya Hanna yang akan memberikan topi itu pada Kahiyang. Satria sangat berharap pertemuannya nanti dengan Kahiyang berjalan lancar.

Satu topi minnie mouse langsung di pakai Hanna, dan satunya lagi disimpan dalam tas ransel Satria.

"Sudah sore, kita kembali ke hotel?" tanya Satria lembut.

"Iya, Papa. Hanna udah capek," jawabnya, merangkul leher Satria, menyembunyikan wajahnya. Hanna mulai mengantuk.

"Besok pagi kita ke menara Eiffel. Jadi, Hanna harus istirahat. Tapi sebelumnya, putri Papa harus makan dulu," ujar Satria sambil terus berjalan menuju parkiran.

Selama di Paris, Satria sudah menyewa satu buah mobil untuk mempermudah mobilitasnya selama berlibur disana.

"Iya, Papa," jawabnya lalu memejamkan mata, sangat mengantuk.

Satria terus fokus menyetir, sesekali menatap putrinya yang terlelap di sisi kanannya. Kebahagiaannya memang belum sempurna. Namun dengan melihat Hanna bahagia seperti hari ini, rasanya Satria juga turut bahagia.

Esok, Satria akan membawa kenangannya kembali. Kenangan bersama seseorang yang sudah lama ia lupakan wajahnya. Pertemuan pertama yang entah kenapa masih tetap ada dalam ingatan.

Sesampainya di hotel, Satria memesan beberapa menu makan malam untuk dirinya dan juga Hanna. Pesanan diantar ke kamar.

"Lusa kita ke London, Papa?" tanya Hanna, sambil mengunyah kentang goreng.

Satria yang sedang memotong daging, menghentikkan gerakan tangannya. Menatap Hanna yang sudah menunggu jawaban.

Satria mengangguk, "iya. Lusa kita ke London," jawabnya.

"Yeay ..." seru Hanna, bangkit dari duduknya lalu bergoyang kesana kemari. Satria tertawa melihatnya.

"Ayok, habiskan! lalu kita tidur," ujar Satria.

"Oke, Papa," jawabnya, kembali duduk untuk menghabiskan sisa makanan di atas piring.

Hanna terlelap dalam pelukan hangat ayahnya. Di kamar hotel yang begitu luas dan mewah, hanya di inapi oleh mereka berdua saja. Liburan yang memang hanya ada Satria dan Hanna. Terkhusus untuk putrinya, Hanna. Hanya dengan itu, Satria mengobati kekecewaan putrinya akan permasalahannya dengan Inggrid.

"Papa, cuma mau lihat Hanna bahagia," -mengusap puncak kepala- "maafkan Papa, juga Mama. Kami tidak bisa menjadi orangtua yang baik untuk Hanna," sambungnya. Satria meteskan air matanya, merasa bersalah pada nasib putrinya. Satria berjanji akan terus bersama putrinya, membahagiakannya sampai kapan pun.

Malam yang terbilang cukup dingin. Suhu di musim semi kota Paris mencapai 11°C, dan bisa lebih rendah lagi. Dan malam ini, hujan turun cukup deras.

Satria menyelimuti Hanna lalu memilih keluar kamar, membuat kopi instan.

Menikmati secangkir kopi panas di saat hujan, sambil memandangi menara Eiffel di balik jendela. Satria kembali teringat Kahiyang. Lusa, ia dan Hanna akan terbang ke London. Apakah semua akan berjalan lancar? Apakah Kahiyang mau menemuinya? Pertanyaan-pertanyaan yang terus muncul dan membuatnya dilema.

******

Pagi hari setelah sarapan, Satria dan Hanna sudab bersiap menyusuri jalan sampai ke area menara Eiffel. Hotel yang mereka inapi, sangat dekat. Cukup berjalan kaki beberapa menit, pemandangan menara Eiffel dan sekitarnya terpampang.

Hanna begitu senang. Wajahnya terus menengadah ke atas lalu berseru takjub. Untuk pertama kalinya, Hanna melihat menara yang menjadi ikon kota romantis itu. Menara yang indah, menjulang tinggi.

Siapa yang tidak tahu Menara Eiffel, atau yang sebagaimana orang Prancis menyebutnya, La Tour Eiffel?
Ini adalah salah satu landmark paling terkenal di dunia dan menara ini memiliki sejarah yang cukup panjang.
Menara Eiffel adalah hasil rancangan yang dibuat untuk World’s Fair 1889 di Paris dan dimaksudkan untuk memperingati seratus tahun Revolusi Prancis dan memamerkan kehebatan mekanik modern Prancis di kancah internasional dunia.
(artikel ditulis oleh : Rizky Setiawan, disunting oleh : Aprillia)

Ada satu hal yang tidak boleh dilewatkan jika sudah berada di tempat ini, yaitu naik ke puncak menara yang ketinggiannya 325 meter itu. Tawarannya jelas, menyajikan pemandangan indah kota Paris.

Satria menggandeng Hanna, mengantri tiket di loket sebelah timur arah boulevard karena terlihat sepi dibanding loket yang mengarah ke istana Trocadero. Di waktu akhir minggu seperti sekarang, banyak turis mancanegara maupun lokal yang ingin menaiki menara Eiffel. Maka dari itu, terdapat antrian panjang mengular di beberapa loket.

Selesai mengantri, Satria dan putrinya menaiki sebuah lift transparan yang merupakan bagian dari menara Eiffel. Perlahan, lift semakin naik dan membawanya sampai ke ketinggian 325 meter. Seluruh kota Paris terlihat indah dengan bangunan-bangunan putih yang mendominasi. Tak heran jika Paris di jaman dahulu disebut Lutetia oleh Julius Caesar, yang artinya adalah daerah putih.

"Wahhh ..." seru Hanna, takjub akan keindahan kota Paris dari atas menara. Bukannya takut, Hanna justru terlihat sangat senang.

Satria menarik sudut bibirnya,"anak Papa senang?" tanyanya seraya mengangkat Hanna lalu di gendongnya.

"Iya, Papa. Hanna senaanggg sekali," ujar Hanna, sambil merentangkan kedua tangannya. "Terimakasih, Papa," mencium kedua pipi Satria.

"Asalkan putri Papa bahagia, semua pasti Papa wujudkan," ucapnya. Hanna memeluk leher Satria. Ayahnya itu memang luar biasa. Semua keinginannya selalu dituruti dan selalu ada di setiap momen-momen berharganya. Sangat berbeda dengan ibunya, Inggrid.

Lift kembali turun ke bawah. Kini Hanna tidak lagi di gendongnya. Putri kecilnya itu sudah menariknya terus untuk keluar dan mengabadikan kenangan itu dengan berfoto di depan menara Eiffel.

Hasil dari beberapa foto di ponsel sedang Satria amati, senyuman itu terus tersungging. Hanna benar-benar terlihat sangat bahagia.

"Hanna ..." seru Satria. Putrinya tidak ada di sampingnya. Dadanya berdegup kencang. Hanna hilang dari pandangan. Satria terus mencari ke seluruh halaman luas menara Eiffel.

Tidak mungkin putrinya hilang secepat itu. Kondisi halaman rumput luas itu memang sangat ramai. Satria takut Hanna diculik orang asing.

Satria terus mencari sambil terus berteriak menyebut Hanna. Orang-orang hanya melihatnya saja tanpa menawarkan bantuan atau memberikan informasi.

Sampai di satu titik, Satria menghentikkan langkahnya. Seakan nafas dan juga kehidupan di sekitarnya terhenti. Satria menemukan Hanna.

"Hanna ..." serunya lirih. Putrinya itu menoleh dengan tangan kirinya menggenggam tali balon berbentuk love berwarna pink.

"Papa ..." seru Hanna lalu tali itu ia pindahkan ke tangan kanannya, kemudian tangan kirinya ia tautkan pada jari-jari lentik dan menariknya, mendekati Satria.

"Kahiyang ..." ucap Satria lirih. Kahiyang mengangguk, tersenyum kecil.

To be Continued...

ScandalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang