5 Years Ago

1.7K 61 0
                                    

Hari-hari Kahiyang semasa sekolah tidaklah mudah. Karena kecantikannya sekaligus putri orang berada, membuat siswi-siswi lain iri dan juga membullynya.

"Apa yang dia banggakan? cantik? biasa saja, standar. Masih kalah jauh," salah satu murid yang berkuasa di angkatan Kahiyang mencemoohnya di belakang.

"Beruntung dia anak orang kaya," sambung satu teman segengnya.

"Tapi anak ha*am," imbuh temannya yang lain dan mereka berlima tertawa.

Kahiyang yang sedang duduk di kantin, hanya berjarak beberapa meja saja sanggup mendengar tawa mereka. Kahiyang memandang dengan tatapan tidak suka. Ia tahu dirinya sedang dibicarakan. Tiada hari tanpa bullyan dan cemoohan.

Saat itu Kahiyang memiliki satu teman bernama Irina, hanya teman bukan sahabat.

"Mereka pasti ngomongin kamu, Kahiyang," ucap Irina. Pandangannya pun sama, mengarah ke segerombolan siswi-siswi itu.

"Biar aja, udah biasa. Emang begitu kan mereka dari dulu," sahut Kahiyang, melanjutkan makan siangnya. Irina mengangguk lalu ikut menghabiskan satu mangkok bakso miliknya.

Dan hari itu, sekolah memberikan pengumuman akan adanya kegiatan camping untuk merayakan hari jadi sekolah. Camping sendiri di adakan di puncak di daerah perkemahan.

Kahiyang yang enggan bergabung bersama teman-temen sekelasnya, memilih menaiki kendaraan pribadi.

"Soni saja yang antar Kahi ke perkemahan, Pa," ujar Brisia pada Rozi. Soni adalah asisten pribadi Rozi sebelum Irwan.

"Oke, Papa hubungi Soni dulu," jawab Rozi, meraih ponsel di atas nakas.

"Halo, Soni. Besok pagi antar Kahiyang ke perkemahan di Puncak Bogor. Untuk urusan saya biar istri saya yang mengurusnya. Jangan sampai terlambat," ujar Rozi di sambungan telefon.

"Baik dokter," jawab Soni.

Malam itu Kahiyang dibantu Rozi dan Brisia menyiapkan beberapa perlengkapan untuk dibawa ke perkemahan.

Sampai pagi harinya Soni sudah datang dan sarapan bersama dengan keluarga Rozi. Kahiyang memang tidak terlalu dekat dengan Soni, karena ia selalu menjaga jarak dengan siapapun diluar keluarga besarnya.

"Soni, jangan ngebut! jaga anak saya," pesan Brisia pada Soni di teras rumah. Soni yang baru saja menutup bagasi, membungkukkan badannya.

"Baik, bu," ucapnya.

"Mama, Papa, Kahi berangkat dulu," Kahiyang berpamitan, mencium pipi kedua orangtuanya.

Brisia dan Rozi melambaikan tangan ke arah mobil SUV putih yang ditumpangi Kahiyang dan Soni.

Meskipun dalam satu mobil dan duduk bersebelahan, Kahiyang tetap menjaga jarak dengan Soni. Jika ditanya Kahiyang baru menjawab, jika tidak Kahiyang tetap diam.

Perjalanan itu membutuhkan waktu kurang lebih tiga jam karena padatnya jalan tol. Di akhir pekan akan selalu seperti ini. Puncak Bogor memberlakukan jam buka tutup untuk mengatasi banyaknya kendaraan yang akan menuju atas.

Tepat di jam 8 pagi, mobil yang dikendarai Soni dapat masuk ke arah atas. Di jam itu petugas sudah membuka jalan dan akan ditutup kembali pukul 08.30.

Mobil terus melaju hampir mendekati area perkemahan.

"Maaf, Nona. Sepertinya ada kendaraan yang bermasalah di depan," ujar Soni. Mereka terjebak macet.

"Oke, kita tunggu aja." jawab Kahiyang. Lalu ia mengangkat telefon dari Brisia.

"Halo, Mama," sapanya.

"Sudah sampai mana sayang?" tanya Brisia.

"Udah naik, Ma. Tapi ini kena macet. Kayaknya ada kendaraan yang rusak didepan. Kahi nggak tau," balas Kahiyang. Ia menegakkan badannya melihat ke arah kiri. Deretan warung makan dan mini market terkenal menarik perhatiannya.

"Yasudah, tunggu saja. Yang sabar anakku," ucap Brisia. Brisia sedang bersama Rozi menuju rumah sakit. Hari itu ia menggantikkan Soni sementara untuk membantu suaminya.

"Iya, Mama. Tapi Kahi mau ke mini market dulu. Boleh ya? Kahi lupa bawa coklat," ijinnya pada Brisia sambil menggigit kuku. Kebiasaannya sedari kecil bersama Kiran dulu.

"Iya, nak. Tapi jangan lama-lama ya?" ujar Brisia.

"Iya, Ma- ahhhh ..." suara Kahiyang terputus dan terdengar suara teriakan.

Brakkkk

Suara benturan keras dan suara kendaraan yang terseret terdengar jelas di telinga Brisia. Brisia menutup mulutnya sambil menangis.

"Nak, nak. Kahi denger Mama kan? Nak ..." Brisia berusaha berbicara pada Kahiyang. Tapi tidak ada sahutan.

"Kenapa Ma? Ada apa? kenapa Mama nangis?" tanya Rozi. Ia terkejut melihat istrinya seperti itu.

"Kahi, Pa. Kahi ... kita harus kesana. Mama khawatir sama Kahi. Tadi ada suara teriakan, juga benturan keras. Mama takut, Pa. Mama takut," suara Brisia menangis masih terdengar dari balik telepon Kahiyang.

"Halo, halo," suara orang tidak dikenal dari ponsel Kahiyang.

"Halo, Kahi. Anak Mama. Nak, kamu baik-baik saja kan?" Brisia langsung bertanya tanpa mendengar suara laki-laki dari balik telefon putrinya.

"Bu, maaf. Saya warga sekitar. Terjadi kecelakaan beruntun. Saya tidak tahu putri ibu yang mana. Keadaan disini sangat kacau," ujar pria tersebut. Brisia tak mampu berbicara, ia duduk lemas.

"Halo, halo ... bisa saya tahu dimana posisi saat ini?" tanya Rozi.

"Ada di daerah Mega mendung, Pak. Keadaannya sangat kacau. Banyak kendaraan yang rusak parah, juga banyak korban. Ini rem blong, Pak. Truk dari atas langsung menabrak kendaraan yang terjebak macet," terangnya. Rozi sama syoknya, tapi ia tetap harus kuat demi putrinya yang saat ini entah bagaimana kondisinya.

Rozi bergegas ke puncak bersama Brisia dan tim dari rumah sakit. Beberapa ambulance ikut mengiringi.

"Ma, Mama harus kuat. Jangan menangis terus. Kita berdoa buat Kahi juga Soni," ujar Rozi pada istrinya yang masih menangis.

Perjalanan cukup cepat karena Rozi meminta bantuan petugas untuk mengawalnya sampai ke titik kecelakaan.

Kahiyang yang saat itu memakai baju berwarna putih dan celana jeans biru. Bajunya sudah tak lagi berwarna putih. Truk menghantam keras ke arah Soni setelah menabrak mobil didepannya. Kahiyang terlempar beberapa meter dan punggungnya membentur bahu jalan. Ponselnya pun terlepas dari genggaman.

Soni tidak selamat sedangkan Kahi terluka parah dan kritis. Brisia terus memeluk Rozi, lalu jatuh pingsan. Kecelakaan pagi itu menjadi trending topik di seluruh media sosial dan laman berita.

Kahiyang kritis selama beberapa jam dan belum sadarkan diri selama dua hari. Dalam tidurnya, Kahiyang bertemu dengan seorang wanita cantik yang merentangkan tangannya, meminta pelukan. Kahiyang ingat senyuman itu lalu berlari dan memeluknya. Aroma tubuh wanita itu menguar, tercium begitu jelas di hidungnya.

"Ibu ..." serunya lirih. Wanita itu tidak membalas seruan Kahiyang. Hanya usapan lembut di punggung.

"Kahiyang rindu," ucapnya lagi, masih memeluk. Lagi lagi tak ada ucapan yang terdengar.

Lalu wanita itu mengurai pelukannya lalu membawa Kahiyang menuju pintu yang terlihat sangat terang.

Kahiyang menghentikkan langkahnya. "Papa, Mama ... " ujarnya. Wanita itu menoleh lalu mengangguk, melepaskan tangan Kahiyang kemudian berdiri didepan pintu itu dan melambaikan tangan sambil tersenyum.

Saat itulah Kahiyang kembali, ia membuka matanya. Mimpi singkat itu terasa lama bagi Brisia dan Rozi juga keluarga besar yang sudah selama dua hari menanti kabar Kahiyang.
Reza, Natasha, Alsya, Ashraf dan Arfa juga ada disana.

Kahiyang mengalami trauma berat. Apalagi kabar Soni yang tidak tertolong, menjadi pukulan berat untuknya. Kahiyang menyalahkan dirinya sendiri atas kejadian itu.

Rozi yang juga sebagai dokter kesehatan jiwa dan perilaku, berusaha keras mengembalikan kondisi psikis dan mental putrinya. Sampai Rozi memutuskan untuk Kahiyang home schooling sementara waktu.

To be Continued...

ScandalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang