Pria Tua Egois

2K 55 0
                                    

"You've lost your mind," ujar Kahiyang. Satria sudah kehilangan akal.

"No. I'm serious. Tunggu sebentar saja. Jangan menikah dengan dokter itu! Tunggu dan menikahlah denganku," Satria memegang dua tangan Kahiyang, mengecup punggung tangan.

"Tapi ..."

"Sstttt ... tidak ada kata tapi. Percaya aku," menutup bibir Kahiyang dengan jari telunjuknya.

Kahiyang tidak mau tapi tubuhnya merespon lain. Setiap bertatapan dan ciuman yang Satria berikan, ia tidak sanggup menolaknya. Hati dan pikirannya bertentangan.

"Kita simpan rapat-rapat hubungan ini, sampai nanti aku menyelesaikan semua. Aku tidak mau mendengar penolakan!" ujar Satria. Ia kembali mencium Kahiyang.

Pukul 10 malam mereka turun ke basement. Satria menyuruh Kahiyang menunggunya sebentar. "Aku mengambil kunci mobil dulu. Tunggu disini!" ujarnya lalu berlalu, masuk kembali ke restoran dan keluar menuju lobby, mengambil kunci mobilnya pada petugas valet.

Setelahnya Satria bergegas menuju basement kembali. Menghampiri Kahiyang lalu meraih tangannya. Kahiyang diam saja mengikuti Satria ke arah mobilnya.

"Masuk!" titah Satria sambil melindungi kepala Kahiyang agar tidak terbentur atap mobil. Kahiyang menurut. Tidak ada gunanya ia menolak. Satria sama sepertinya, sama-sama keras kepala.

"Saya bisa sendiri," Kahiyang menolak Satria yang akan membantunya mengenakan seatbelt.

"Oke." Satria mengangguk-anggukan kepala lalu mengenakan seatbeltnya sendiri.

Mobil melaju ke arah tengah kota, Satria ingin berlama-lama bersama Kahiyang, meskipun hanya sekedar berkeliling mengitari Jakarta.

"Sampai kapan bapak bawa saya keliling? ini sudah larut. Orangtua saya sudah pasti menunggu di rumah. Mana handphone saya?" Kahiyang meminta ponselnya. Papa Mamanya pasti khawatir, terlebih pesan Bumi tadi untuk memberinya kabar. Kahiyang takut Bumi menanyakan tentang dirinya pada Papanya, Rozi.

"Oke, aku antar sekarang. Tapi bisa tidak, kamu ubah panggilan untukku. Panggilan itu terdengar menggelikan," ujar Satria, menoleh lalu fokus kembali ke arah depan.

"Saya tidak bisa!" tolak Kahiyang. "Panggilan itu sudah sangat pas," imbuhnya.

"Apa aku terlihat setua itu?" tanya Satria, ia menahan kesalnya karena penolakan Kahiyang untuk mengubah panggilan untuknya.

"Yap ... memang kamu sudah bapak-bapak. Kamu sudah memiliki istri dan juga putri. Jadi sebaiknya jangan memaksa saya!" jawab Kahiyang ketus dan apa adanya.

Ciittt ....
Suara decitan rem mobil terdengar. Satria mengerem mendadak setelah mendengar jawaban Kahiyang.

"Aku nggak bisa kalau kamu harus dengan laki-laki lain! Aku bisa gila, Kahiyang!" meremas rambutnya, mengusap wajahnya kasar.

"Tapi aku tidak mau di cap sebagai perusak rumah tangga orang! Kamu benar-benar egois, sangat keterlaluan!" menepis tangan Satria yang akan mendarat di bahunya.

"Iya, aku egois! Semua gara-gara kamu. Kenapa kamu datang disaat yang tidak tepat? Kenapa kamu selalu ada dipikiranku? Why?" Satria berteriak, memukul setir.

"Itu karena dirimu sendiri! Kenapa menyalahkanku?" Kahiyang membalas dengan teriakan yang tidak kalah kerasnya.

Satria diam, ia kalah. Satria memilih melajukan kembali mobilnya.

Sepanjang jalan mereka berdua saling berdiam diri. Hanya ada suara musik yang berasal dari layar dashboard.

Kahiyang ingin cepat-cepat sampai di rumahnya. Papa dan Mamanya sudah pasti menunggu. Waktu sudah menunjukkan pukul 12 malam. Entah apa yang akan ia terima saat pulang nanti. Interogasi berjam-jam.

ScandalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang