Kahiyang merutuki dirinya sendiri. Setelah mengecek, ternyata dirinya lah yang menghubungi Satria terlebih dulu. Kahiyang lupa menghapus speed dial yang dulu pernah ia atur di ponselnya. Hanya dengan menekan angka 1, akan langsung terhubung dengan nomor Satria. Ponsel di dalam sakunya tidak sengaja tertekan angka itu.
"Stupid! Stupid! Stupid!" memaki diri sendiri. Kemudian Kahiyang merubah pengaturan itu. Ia ragu menghapus nomor ponsel Satria. Ibu jarinya mengatung, antara menekan batal atau hapus.
"Argh ..." teriaknya frustasi. Kahiyang memasukkan ponselnya ke dalam tas. Ia membatalkan menghapus nomor Satria.
Satria terus menatap layarnya, bengong. Kahiyang memutus panggilan itu sepihak. Sedangkan Satria rindu mendengar suara Kahiyang.
"I miss you ... Apa aku harus menyusulmu kesana?" tanya Satria pada dirinya sendiri. Lalu menggelengkan kepala. "Dia sudah bersuami. Aku tidak boleh merusak semuanya."
Dan posisi Kahiyang pasti akan semakin sulit jika semua orang tahu mereka memiliki hubungan. Inggrid orang yang ambisius dan terbilang nekat.
Setelah telefon dari Kahiyang itu, Satria masih duduk diam melamun. Banyak hal yang ia pikirkan.
"Kahiyang ..." seru Jarvas. Kahiyang menoleh ke arah kanan dimana Jarvas sedang berlari kecil menghampiri.
"Apa?" tanya Kahiyang sedikit ketus.
"Aku mau bicara sebentar. Bisa kan?" tanya Jarvas, sambil merapikan rambutnya.
"Ngomong apa?" tanya Kahiyang lagi dengan nada yang sama ketusnya.
"Akhir minggu ada waktu luang?" tanya Jarvas tanpa ragu.
"For what?" Kahiyang menatap tegas Jarvas.
"Ada pameran lukisan di gedung kesenian. Aku ajak kamu untuk kesana," ujar Jarvas tanpa berbasa basi layaknya pria barat kebanyakan.
Kahiyang nampak diam memikirkan ajakan itu. Jarvas menunggu jawaban dengan terus menatap lurus ke arah Kahiyang.
"Cuma berdua?" tanya Kahiyang. Jarvas mengangguk.
"Sorry, aku nggak bisa ..." jawab Kahiyang. Jarvas terkejut dengan jawaban Kahiyang yang di luar ekspektasinya. Pikir Jarvas, kali ini ajakannya akan diterima. Namun Kahiyang menolaknya mentah-mentah.
"Kenapa? Kamu ada janji lain?" tanya Jarvas penasaran.
"Bukan urusanmu." Kahiyang langsung pergi meninggalkan Jarvas yang kesal.
"Sial! Susah banget!" umpat Jarvas.
Begitulah Kahiyang. Setelah dua kali tersakiti oleh laki-laki, ia kembali membentengi dirinya. Kahiyang seperti dirinya yang dulu, angkuh dan sukar didekati.
"Kenapa, bro?" tanya Bryan yang baru saja keluar dari lobby kampus.
"Aku ajak Kahiyang ke pameran lukisan di gedung kesenian, tapi dia nggak mau. Dia nolak aku. Damn!" Jarvas kembali mengumpat sambil menendang batu kerikil di depannya.
"Udah aku bilang. Move on, bro. Dia susah di rayu. Dia beda sama cewek-cewek lain. Masih banyak yang lebih cantik dari dia. Come on, bro!" ujar Bryan. Lalu merangkul Jarvas, membawa temannya itu pergi dari kampus.
Jarvas masih pada pendiriannya. Ia masih penasaran dan merasa tertantang untuk mendekati Kahiyang. Bagaimana pun juga, Kahiyang gadis pertama yang sudah di incar lama oleh Jarvas. Kali ini ia harus dapatkan Kahiyang.
Setelah pergi meninggalkan Jarvas, Kahiyang kembali ke apartemen. Rasa rindunya akan masakan rumah, membuatnya ingin cepat-cepat sampai. Kahiyang berencana memasak. Ada beberapa bahan yang ia beli di supermarket Asia yang tidak jauh dari kampusnya. Dan juga ada beberapa bahan yang ia bawa dari Indonesia.
"Ah, aku rindu rumah," seru Kahiyang saat melihat bahan-bahan yang baru saja ia keluarkan dari kulkas.
Kahiyang mengamati langkah-langkah memasak dari video yang di putarnya. Satu per satu ia masukkan ke dalam teflon dan juga panci. Kahiyang cukup mahir, meski pun ia sangat hati-hati dan detail.
Satu mangkuk sop buntut, sambal dan juga kerupuk udang, siap di atas meja makan. Kahiyang menyendok beberapa centong nasi ke atas piring. Benar-benar terasa di rumah.
"Selamat makan," serunya sendiri. Kahiyang memotret hasil masakannya lalu ia share di laman instagramnya, dan ia kirimkan juga ke Mamanya Brisia di Indonesia.
"Emm ... Lumayan. Not bad," gumam Kahiyang, setelah memasukkan satu suap ke dalam mulut.
Ada sudut rasa sedih di hatinya. Seharusnya ia bisa kembali menetap di Indonesia setelah kelulusan nanti, tapi pesan dari Airin neneknya tidak bisa dibantahnya.
"Doakan nenek cepat pulih. Nenek akan sering-sering jenguk kamu ke London. Jangan pulang ke Indonesia, menetaplah disana. Cari kebahagiaanmu sendiri," pesan Airin.
Mungkin memang takdir Kahiyang menetap di London. Mencari kebahagiaan untuk hidupnya sendiri.
"Tapi, Kahi rindu ..." ucap Kahiyang sambil menyeka sudut matanya, mulutnya masih mengunyah. Kahiyang menangis.
*****
Keesokan hari Jarvas sengaja datang ke ruang lukis dimana Kahiyang sedang melukis seorang diri. Sudah menjadi rutinitas, ia tumpahkan rasa sepinya ke atas kanvas.
Goresan-goresan kuas dituangkannya membentuk lukisan yang nampak teduh. Kahiyang yang sudah terlatih sejak kecil, membuatnya layaknya pelukis profesional.


Jarvas berdiri menyandar gawang pintu, menatap Kahiyang yang terlihat serius melukis, tanpa tahu sedang di perhatikan.
"Selalu cantik," gumam Jarvas lalu tersenyum.
Kahiyang terusik dengan suara Jarvas dan Bryan yang sedang berbisik. Ia menoleh seraya mengerutkan keningnya. Jarvas menutup mulut Bryan lalu menyeretnya pergi.
"Semua gara-gara kamu! Jangan menggangguku!" bentak Jarvas pada Bryan. Ia kesal. Bryan sudah mengganggu aktivitasnya memandangi Kahiyang yang sedang fokus melukis. Kapan lagi melihat pemandangan secantik itu, pikir Jarvas.
"Kamu terlalu berlebihan. Dia gadis Asia biasa. Sama seperti yang lain. Come on, bro. Lupakan gadis itu! Akan aku kenalkan dengan gadis Amerika yang lebih sexy," ujar Bryan, merangkul Jarvas.
"Persetan denganmu!" Jarvas memaki lalu menepis rangkulan Bryan, kemudian pergi.
"Keras kepala! Damn!" ucap Bryan. Susah sekali membuat Jarvas melupakan Kahiyang.
Kahiyang mendengar perdebatan itu dari balik pintu. "Ya ... Aku memang gadis Asia biasa. Lalu apa masalahnya? Rasis!" Kahiyang menggerutu.
Kahiyang membereskan peralatan melukisnya. Ia memilih untuk kembali ke apartemen dengan membawa hasil lukisannya itu.
Hidup Kahiyang memang seputar kampus dan apartemen. Sama seperti dulu, ia tidak terlalu bergaul dengan teman yang lain. Hanya sekedar menyelesaikan tugas kelompok lalu memilih menyendiri.
Lukisan itu ia letakkan berjajar di ruang melukisnya. Ada satu lukisan yang cukup menarik dan memiliki arti khusus selain lukisan ibunya Kiran.
Sketsa anak laki-laki berusia 20 tahun. Tubuhnya menghadap belakang. Anak laki-laki itu mengenakan hoodie, celana panjang dan sepatu kets, menggendong tas ransel. Dengan Latar belakang menara Eiffel.
Kenangan masa kecil yang ia ingat sekilas. Anak laki-laki yang menolongnya dulu. Hingga lima belas tahun berlalu, Kahiyang belum menemukan jejaknya.
Kahiyang meraba sketsanya itu. "Kamu di belahan dunia mana? Sampai saat ini, aku belum bisa menemukanmu," ujarnya sendiri.
"Aku berharap, kamu masih mengingatku. Terimakasih untuk kebaikanmu dulu," sambungnya.
Suara dering ponselnya terdengar dalam saku celana. Kahiyang merogoh lalu menatap layar.
"Satria?" seru Kahiyang sesaat melihat layar. Ia belum mengangkatnya.
Dering dan dering berikutnya masih Kahiyang abaikan. Kemudian ia menyerah, memberanikan diri mendengar suara Satria.
"Halo," sapa Kahiyang.
"Kahiyang. Kahi sayang ..." ucap Satria.
To be Continued...
KAMU SEDANG MEMBACA
Scandal
RomanceWARNING 21++ Terdapat adegan dewasa. Tidak diperuntukan anak dibawah umur !! Kahiyang Prasojo. Pelukis cantik berusia 20 tahun, putri sulung Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa dan Perilaku, dr. Rozi Prasojo Sp.KJ. Kisah cintanya dimulai sejak ia ber...