Liontin, Hadiah Pernikahan

586 22 0
                                    

Fajar sedang memasak, memunggungi ruang santai. Bumi tetap diam, menatap punggung lebar itu.

"Mas, ini ada temenku. Dari Indonesia dan dokter juga," seru Atiqah, memperkenalkan Bumi.

Bumi masih berpikir positif, mungkin Fajar sepupu Atiqah.

"Ah iya, sebentar lagi mateng. Duduk aja dulu," jawab Fajar sembari menoleh sebentar.

"Ayok duduk," ucap Atiqah pada Bumi lalu menarik kursi. Atiqah dan Bumi duduk berseberangan.

Di atas meja makan sudah ada lauk dan sayur khas masakan rumahan Indonesia. Tersisa sup yang sedang Fajar masak.

Paperbag yang dibawa Bumi, ia letakkan di lantai di samping kursi.

Fajar membalikkan badannya setelah mematikan kompor. Membawa satu mangkuk besar berisi sup ayam.

"Kebetulan kami belum sarapan dan hari sudah mau siang. Ini sarapan di gabung dengan makan siang," celetuk Atiqah. Fajar mengusap puncak kepala Atiqah. Bumi terus menatap lekat keduanya yang duduk berdampingan.

"Ah iya, kita belum berkenalan. Saya Fajar," ucapnya memperkenalkan diri pada Bumi.

"Saya Bumi," balasnya, mengulurkan tangan.

"Mas Fajar ini Dosen bahasa Indonesia di Universitas Internasional di dekat rumah sakit," terang Atiqah. Bumi menganggukkan kepalanya, seraya menerima mangkuk berisi nasi putih.

"Kalau dokter Bumi dinasnya di rumah sakit pusat di Seoul, Mas," sambung Atiqah lagi, menjelaskan pada Fajar.

"Oh ... Jadi kemari jauh-jauh dari Seoul?" tanya Fajar. Bumi mengangguk kembali.

"Iya, Mas," jawab Atiqah. "Biasanya memang suka main ke Ansan. Tapi sudah enam bulan ini dokter Bumi baru datang lagi. Ya namanya juga orang penting di pusat, jadi pasti sibuk banget," ujar Atiqah. Bumi hanya iya iya saja. Pikirannya masih kacau, siapa Fajar ini.

"Sudah punya pacar?" tanya Fajar spontan pada Bumi. Sembari menjapit sayur dengan sumpitnya. Mereka makan siang bersama.

Bumi menggelengkan kepalanya perlahan. "Belum,"

"Setampan dan sesukses ini belum punya pacar?" tanya Fajar, heran.

"Jangan gitu dong, Mas. Mungkin memang belum ada yang srek di hati," Atiqah menepuk bahu Fajar.

"Tapi jangan sampe suka sama calon istriku, ya," celetuk Fajar dengan maksud bergurau. Sudah pasti Bumi terkejut dengan perkataan Fajar.

'Calon istri?' gumam Bumi dalam hatinya.

"Apa sih, Mas. Jangan ngeledekin dokter Bumi gitu, nggak baik," tegur Atiqah.

"Tapi bener kan? Kamu calon istriku. Nggak baik kalau suka sama pasangan orang lain. Sebentar lagi, kami akan menikah. Dokter Bumi juga bisa datang ke acara kami nanti," tutur kata Fajar memang benar. Justru hati akan semakin sakit jika terus memaksakan menyukai jodoh orang.

Bagai petir di siang bolong. Atiqah akan segera menikah dengan pria di hadapannya saat ini. Bunga itu dipaksa layu sebelum berkembang. Kedatangan Bumi ke Ansan tidak seperti rencana dan harapannya. Semua gugur, jatuh berserakan.

Sejak kedatangannya ke apartemen Atiqah, Bumi tidak banyak bicara. Jika ditanya, hanya jawaban standar saja. Bumi merasa tidak nyaman di antara Atiqah dan Fajar. Ingin segera keluar dari gedung apartemen itu.

Bumi mengirimkan pesan pada Edo, meminta bantuan untuk menelfonnya, berpura-pura jika ada hal mendesak di rumah sakit.

Pesan itu direspon cepat oleh Edo. Ponsel Bima berdering.

"Halo ..." sapa Bumi.

"Kenapa lo? Ditolak?" tanya Edo di seberang sana.

"Pasien darurat? Oke, gua langsung balik ke rumah sakit. Lo bantu tanganin dulu," jawaban Bumi sama sekali tidak sinkron dengan pertanyaan Edo disana.

"Pasien darurat, pala lo. Gua baru aja nyantai. Omongan itu doa. Yaudah buruan lo balik. Gua mau denger apa jawaban Atiqah. Firasat gua sih ditolak," Edo cengengesan. Bumi ingin mengumpat namun ditahannya.

"Iya, sabar," jawabnya langsung mematikan sambungan telfon dari Edo.

Atiqah dan Fajar paham dengan isi pembicaraan telefon itu. Keduanya langsung berdiri.

"Hati-hati dijalan, dok," ujar Atiqah. Fajar mengangguk, tersenyum, seraya merangkul Atiqah.

"Oke. Terimakasih banyak untuk makan siangnya. Masakan mas Fajar enak," ujar Bumi sambil memakai sepatunya lalu memberikan satu jempolnya.

"Sama-sama," jawab Atiqah dan Fajar kompak.

Akhirnya Bumi keluar dari apartemen itu.

"Dokter Bumi ..." seru Atiqah. Bumi menoleh. Paperbag  berwarna hitam berisi kalung dan liontin, ternyata tertinggal. Atiqah berlari mendekat.

"Ini ada yang ketinggalan," Atiqah menyodorkan paperbag itu.

"Buat kamu. Sebagai hadiah pernikahan," ucap Bumi.

"Hah? Tapi kan ..." hari pernikahannya masih bulan depan, tapi Bumi sudah memberikannya hadiah. Ada yang salah. Pikir Atiqah.

"Selamat menempuh hidup baru, dokter Atiqah. Semoga semua lancar. Bahagia selalu," ucap Bumi, mengusap lengan Atiqah lalu pergi.

Atiqah masih diam termenung menatap kepergian Bumi. Rasa aneh itu ia sampaikan pada Fajar.

"Mas, dia kasih ini buat hadiah pernikahan kita," menyodorkan paperbag.

"Hah? Kok bisa? Memangnya kamu ada kasih tau dia?" tanya Fajar. Atiqah langsung menggelengkan kepala.

"Coba buka ya?" Atiqah mengeluarkan kotak perhiasan berpita. "Kalung sama liontin, Mas," imbuhnya.

Fajar mengerutkan keningnya. "Kayaknya dia kesini ada maksud lain. Nggak mungkin kan dia bawa ini kalau cuma mau main aja. Jauh-jauh lho dari Seoul. Dia sampe bawa itu. Aku udah curiga dari cara dia liatin kamu dari tadi," terang Fajar.

"Masa sih, Mas? Duh, aku kok jadi nggak enak ya," Atiqah merasa kasihan pada Bumi.

"Trus kamu nyesel? Yaudah kejar sana," Fajar kesal. Masalah kecil itu justru membuat mereka ribut.

"Nggak gitu dong, Mas. Jangan marah! Aku cuma nggak enak aja, dia jauh-jauh dari Seoul. Aku juga nggak tau kalau dia mau kesini. Selama ini kami juga biasa aja. Berteman sewajarnya. Nggak lebih," ucap Atiqah.

"Maafin aku, Mas," Atiqah merangkul lengan Fajar karena calon suaminya itu terlihat menekuk wajahnya.

"Hemm ..." baru kali ini Fajar marah seperti anak kecil. Atiqah terus merayu sampai Fajar luluh.

Sedangkan Bumi sudah menaiki taksi menuju Seoul. Pikiran dan juga perasaannya kacau. Bumi pikir Atiqah jodohnya, ternyata bukan. Dokter cantik itu akan menikah. Kabar yang sangat mengejutkan. Bumi kalah start. Ada rasa penyesalan di hatinya karena tidak mengatakan pada Atiqah sejak awal.

Seharusnya Bumi kembali ke Seoul membawa kabar bahagia. Edo pasti akan mengejeknya. Sungguh sial kisah cinta Bumi. Bukan hanya ditinggalkan Alsya dan Kahiyang, Atiqah pun pergi dengan pria lain.

"Sabar ... Emang bukan jodoh. Tenang, masih ada anaknya Mr. Lee yang kudu lo temenin kondangan besok," hibur Edo, merangkul temannya itu.

Bumi terdiam menatap keluar jendela di ruangannya. Bumi memilih untuk kembali bekerja. Hujan turun cukup deras, menambah kepiluan.

"Anak Mr. Lee lulusan kedokteran Amerika. Entar sore baru sampe di Korea. Nggak dapet dokter Atiqah, siapa tau dapet anaknya Mr. Lee," ujar Edo. Bumi diam saja, hanya mendengarkan informasi yang disampaikan temannya itu. Belum tertarik, pikirnya.

To be Continued...

ScandalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang