Lukisan di Galeri Seni

989 34 6
                                    

"Maksud kamu apa, Mas?" tanya Kahiyang dalam pelukan erat Satria.

Satria mengurai pelukan, menangkup kedua pipi. "Anak laki-laki itu, aku. Aku yang menolongmu. Ternyata anak kecil itu, kamu?" terang Satria lalu menghujani seluruh wajah Kahiyang dengan kecupan.

Sesuatu yang sangat kebetulan dan sebuah takdir dari Tuhan.

Kahiyang masih diam dan bingung dengan kenyataan di hadapannya.

"Tapi ... Anak laki-laki itu terdapat bekas luka di leher sebelah kanan," ujar Kahiyang.

"Bekas itu sudah samar dan hampir hilang. Mama selalu mengolesi bekas ini dengan cream yang dibelinya di Cina. Lihatlah, bekas lukanya masih terlihat sedikit kalau kamu amati," terang Satria, menarik kerah bajunya agar bekas luka itu dapat di amati Kahiyang.

Kahiyang mendekatkan wajahnya, meneliti bekas itu dengan menyentuhnya. "Benar, bekas luka itu ada," ucapnya yakin.

"Jadi, anak laki-laki itu, kamu Mas?" tanya Kahiyang, tidak menduga bahwa takdir mereka begitu manis. Dipertemukan sebagai kekasih.

"Iya ..." jawab Satria tersenyum, mengusap pipi lalu mencium kening lekat-lekat.

Kahiyang memeluknya erat. "Aku sangat merindukanmu. Sudah sangat lama aku mencari dan menunggu. Ternyata kamu anak laki-laki itu. Aku sangat bersyukur, Mas," ujar Kahiyang. Satria mengusap-usap punggungnya lembut.

"Aku juga tidak tau kalau anak perempuan kecil itu adalah kamu. Kita memang di takdirkan untuk bertemu dan bersama," kata Satria, masih memeluk Kahiyang.

"Aku pernah melihat lukisan yang hampir sama di pameran gedung kesenian. Apakah itu lukisan milikmu?" tanya Kahiyang. Keduanya sudah duduk di sofa berwarna cream, di ruang santai. Hanna masih tertidur di kamar. Seolah Hanna memberikan waktu untuk ayah dan kekasihnya itu berbicara.

"Lukisan yang sama?" tanya Satria, Kahiyang mengangguk.

"Ada inisial huruf di lukisan itu. SA. Satria Arsyanendra?" Kahiyang menatap wajah Satria, menunggu jawaban.

"Apa itu lukisan yang ku berikan pada galeri kesenian kota?" tanyanya sendiri.

"Kamu memberikan lukisan itu pada galeri kesenian kota?" Kahiyang bertanya untuk memperjelasnya lagi.

"Iya ... Apa benar itu lukisanku?" tanya Satria lagi.

"Hanya ada satu lukisan itu. Dan pameran itu di adakan oleh galeri kesenian kota setiap tahunnya," -Kahiyang menutup mulut, terkejut- "jadi lukisan itu benar-benar milikmu," Kahiyang menghambur, memeluk Satria.

Satu demi satu terbuka. Ini semua bukan kebetulan. Ini semua memang takdir Tuhan untuk mereka.

Semua semakin jelas dan Kahiyang mantap dengan hubungannya bersama Satria. Ia akan hidup bersama dengan atau tanpa restu orangtuanya.

Malam semakin larut. Kahiyang pergi untuk tidur bersama Hanna, sedangkan Satria tidur di sofa. Malam itu menjadi tidur ternyenyak bagi Kahiyang dan Satria, tanpa bermimpi sampai pagi menjemput.

Pagi pertama di London, Kahiyang sedang membuatkan sarapan untuk Hanna dan Satria. Duda anak satu itu mengagetkan Kahiyang dengan diam-diam melingkarkan tangannya, memeluk dari belakang.

"Ya ampun, mas. Jangan ngagetin gitu!" tegurnya.

Satria tersenyum seraya menciumi leher yang terbuka karena Kahiyang mengikat rambutnya tinggi-tinggi.

"Mas, geli. Jangan ganggu aku! Cuci muka dulu! Bangunkan Hanna juga, ajak dia sarapan," titah Kahiyang. Belum menjadi istri, namun nada bicara Kahiyang sudah berisik seperti istri pada umumnya.

ScandalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang